Melakukan Moksa Di Madakaripura
MADAKARIPURA
Wongalus
Tubuhnya
gempal dan sorot matanya setajam Majapahit dalam mempersatukan
nusantara. Tanpa kawan, dan tiada lagi musuh. Sebab…. musuh terbesar
manusia…… adalah dirinya sendiri…Gadjah Mada duduk tenang dalam posisi meditasi.
Sebuah
arca Gadjah Mada menandai pintu masuk Air terjun Madakaripura. Mentari
di ufuk timur, betapapun garang ia membakar bumi tepat di siang hari,
ketika senja membayang, toh ia perlahan tenggelam juga.
Saya bersama Mas Kumitir,
menyusur sungai. Batu demi batu kami injak, lompati dan sesekali harus
mencebur diri di air dingin karena jarak tidak memungkinkan untuk
dilompati. Kanan kiri sungai adalah hutan belantara yang sudah sejak
ratusan bahkan mungkin ribuan tahun menjadi saksi adanya manusia yang
masuk ke wilayah yang terletak di Probolinggo, 40 kilometer dari Gunung
Bromo.
Siapa
lagi kalau bukan sang “pahlawan” tokoh pemersatu nusantara dalam arti
yang sesungguhnya yang moksa alias menghilang di air terjun yang sangat
amat magis tersebut. Jalan menuju Madakaripura berkelok-kelok, menyusur
sungai yang terkadang menjadi air bah yang sanggup melongsorkan apa saja
yang dilaluinya. Namun tidak menyurutkan semangat sang Maha Patih
Gadjah Mada, pengawal utama kepemimpinan Prabu Hayam Wuruk Majapahit nan
perkasa untuk menuju ke satu titik: Madakaripura.
Saya
merekonstruksi perjalanan spiritualnya. Meskipun tak bisa utuh, atau
paling tidak nol koma nol sekian persen, setidaknya vibrasi semangat
bajanya insya allah sedikit banyak tertangkap oleh kita. Meski kita
mahfum dengan sangat amat bahwa siapalah saya ini? hanya setitik debu
ditengah gelora nasionalisme Keindonesiaan kita saat ini.
Sesampai
di dekat air terjun rasa-rasanya kita memasuki sebuah dunia yang sama
sekali berbeda. Ditandai dengan diguyurnya tubuh kita oleh hujan abadi
dari air terjun memanjang dari atas sepanjang lima puluh meter sehingga
siapapun dia, apapun pangkat, kedudukan, status sosialnya, berapapun
kekayaannya harus rela untuk basah secara alamiah. Maka, kalau engkau
ingin menjadi dirimu sendiri… satukan dirimu dengan alam…
berbasah-basahlah oleh kenyataan dan jangan takut, apalagi menghindar
dan memakai payung. Begitulah kira-kira saya memaknai perjalanan.
Satu
tahap terakhir yang harus dilalui adalah mendaki sebuah lereng
bebatuan. Di bawah sana ada sungai yang dalam. Kita perlahan memilih
batu demi batu yang aman untuk didaki. Hingga sampailah kita ke air
terjun yang begitu mengagumkan.
Kita
terasa berada di dalam sumur… dengan dinding air yang menghunjam ke
dasar bumi… namun kita tetap terlindung karena berada di
tengah-tengahnya… Nah, di balik air terjun utama ada sebuah lobang
dimana dulu Gadjah Mada duduk diam mematung, hamukti moksa…..
Ratusan
tahun silam, usia Gadjah Mada saat itu telah beranjak senja. Keputusan
untuk mengasingkan diri dari kancah perpolitikan Majapahit yang riuh
rendah oleh sabetan pedang parang, tombak, keris dan penaklukan
kerajaan-kerajaan lain. Saking bersemangatnya Majapahit, sampai-sampai
akhirnya harus menemui tragedi perang Bubat yang telah melukai begitu
banyak hati nurani dan tidak terkecuali Sang Prabu Hayam Wuruk terluka
karena cintanya yang sedang mekar tiba-tiba dihadapkan pada mautnya sang
kekasih.
Keluarga
Raja Majapahit terluka karena akar sejarahnya yang begitu dekat dengan
Sunda Galuh mendadak dipangkas dengan paksa. Namun tentu saja Sunda
Galuh adalah pihak yang paling terluka, bukan saja karena harga diri
yang dilecehkan tanpa ampun, melainkan juga karena semangat perdamaian,
harapan, dan kepercayaan mereka terhadap Majapahit dinodai hingga titik
paling hitam.
Begitulah
faktanya: sebuah acara perkawinan dua kerajaan besar nusantara dengan
menempatkan Raja Majapahit Hayam Wuruk dan Calon Permaisuri dari Sunda
Galuh Dyah Pitaloka berakhir dengan tragis. Perang Bubat! Perang di
lapangan Bubat telah lewat ratusan tahun yang lalu. Namun, dendam dari
kisah lama itu masih terlihat jejaknya hingga sekarang. Warisan
emosional itu rupanya masih terjaga, entah kapan akan pudar. Kisah itu
menimbulkan banyak mitos buruk, di antaranya adalah sebaiknya perempuan
Sunda jangan mau diperistri orang Jawa.
Ceburkan
tubuhmu yang kering…. selamilah hakikat-hakikat… masukilah medan
kesejatian… bersihkanlah dirimu dari kulit-kulit yang merasakan berbagai
macam sensasi hingga engkau mendapatkan satu sensasi saja; fokus pada
satu rasa saja… yaitu rasa tanpa rasa…. tan keno kinoyongopo…..
manunggaling roso…….. begitu yang dirasakan teman saya Mas Kumitir
ketika njegur selama seharian ing telenging kedung, tengahnya air
berkubang air terjun yang dinginnya mencapai nol derajat celcius dimalam
hari… edaaannnnn!!!!
Gadjah
Mada lah dianggap yang paling bertanggungjawab. Ia dihujat, dicaci, dan
disingkirkan. Namun, dibalik kesendiriannya di Madakaripura…. di dalam
perenungannya…. di dalam samudra dzikirnya…. sesungguhnya sang hero ini
juga merasa terluka. Ia terluka karena merasa kerja kerasnya selama dua
puluhan tahun lebih pada akhirnya tak dihargai. Segala pengorbanan yang
ia berikan untuk dapat menyatukan seluruh wilayah Nusantara di bawah
panji-panji Majapahit justru gagal di langkah terakhir.
Sejarah
bukanlah drama teater di panggung sempit yang bisa diubah skenarionya.
Kalau sudah terjadi..siapa yang mampu membelokkannya? Betapapun kecewa
Gajah Mada mendapati kenyataan cita-citanya tak terwujud secara
sempurna, ia mengaku dengan setulusnya dan sejujurnya bahwa dia bersalah
yang telah menyebabkan ratusan orang terbantai.
Ia
bersalah telah mengubah lengkung janur kuning menjadi ratap tangis
perkabungan. Gadjah Mada pun harus menerima itu semua dengan cara
mengasingkan diri….. menghilangkan diri…… melewati hari tua di air
terjun Madakaripura yang sepi sunyi untuk mendekatkan diri pada Ilahi.
Akan
tetapi, sekali lagi sejarah membuktikan kesaktian Gadjah Mada adalah
pondasi kekuatan Majapahit. Sepeninggal Gadjah Mada, kerajaan yang
berpusat di Trowulan Mojokerto— yang kini sisa-sisa situsnya terancam
tergusur oleh pembangunan Pabrik Baja—- mulai dilanda kemerosotan akibat
ancaman disintegrasi. Tanpa Gadjah Mada, negara-negara bawahan
Majapahit tak lagi hormat dan mulai berani memperjuangkan pemerdekaan
dirinya.
Prabu
Hayam Wuruk akhirnya harus kembali mengandalkan Gadjah Mada. Setelah
setahun menyepi di Madakaripura, Gadjah Mada dipanggil untuk menduduki
jabatannya kembali. Hanya saja, semua ada masanya. Sepertinya, puncak
kejayaan memang sudah saatnya berlalu dari Majapahit karena Gadjah Mada
tetaplah manusia biasa. Gajah Mada tidak mungkin dapat membendung laju
takdir. Gajah Mada tidak mungkin pula dapat melawan kodrat.
Dari
tiada menjadi ada, lalu kembali ke tiada. Semua yang hidup pasti
berhadapan pada malaikat maut. Begitulah yang bakal terus terjadi.
Gadjah Mada dengan segala romantika dan gegap gempitanya usai sudah.
Majapahit adalah cermin yang merefleksikan betapa tidak ada manusia yang
sempurna. Seorang Gadjah Mada yang sakti mandraguna dan telah teruji
membawa Majapahit memenangkan perang demi perang pada akhirnya harus
mengakui bahwa ambisi harus dikendalikan dan kerendahan hati mesti
dimiliki oleh siapapun.
Perang
Bubat menjadi renungan agar generasi kini dan seterusnya mampu dengan
bijak menyikapinya, lalu menempatkannya dalam titik proses sejarah yang
tidak boleh lagi terulang dimasa depan…… Gadjah Mada Madakaripura
Hamukti Moksa….. Tiba saatnya kita semua moksa dari dunia ini, kita
moksa, menghilangkan diri untuk selalu mawas diri bahwa dunia dengan
segala perhiasannya adalah hanya sekedar permainan dan senda gurau.
Hanya sebuah sarana untuk menuju tujuan yang azali.
Kembalilah
ke diri, kembalikan kepada yang sejati. Kembalilah untuk meraih yang
engkau anggap mimpi dan tidak nyata. Padahal yang tidak nyata itulah
sesungguhnya yang sungguh-sungguh nyata. Bukalah kosmos kesadaran kita
bahwa kita ini sejatinya tiada. Yang sungguh-sungguh ada hanyalah apa
yang selama ini kita anggap sebagai mimpi, ilusi, khayalan dan lamunan.
Comments
Post a Comment
tuliskan komentar anda untuk tanya jawab seputar ilmu di atas dan juga silakan menjawab komentar sedulur yang kira2 bisa menjawab isi komentar yang sudah ada.
terima kasih..