ARWAH YANG MELAPORKAN KASUS PEMBUNUHAN
Penulis: ADITYA PAMUNGKAS
Sebuah kisah mistis yang fenomenal yang dialami oleh seorang anggota kepolisian yang kini telah pensiun. Suatu ketika dia didatangi sesosok arwah yang melaporkan kasus pembunuhan yang menimpanya....
Aku sedang bertugas malam ketika hujan turun dengan lebatnya. Di luar Pos Resort Kepolisian tempatku bekerja malam itu, keadaan gelap gulita. Udara pun terasa sangat dingin.
Untuk sekedar membuang kantuk, sudah bergelas-gelas kopi pahit kuteguk. Sementara itu, Kopral Harun, rekan anggota yang juga bertugas piket dengannku belum juga muncul. Padahal dia tadi meminta izin hanya sebentar ke luar, dengan alasan hendak membeli rokok dan makanan ringan.
Ketika aku tengah mengenakan jaket untuk sekedar menghangatkan tubuh, tiba-tiba pintu depan diketuk seseorang. Dengan sigap aku berteriak mempersilakan tamu itu masuk. Sejurus kemudian, seorang tua dengan wajah basah terkena air hujan, muncul di hadapanku. Dia berdiri beberapa langka di depan mejaku. Dia memperknelakan namanya, dan mengaku hendak melaporkan terjadinya suatu pembunuhan.
"Apa? Pembunuhan?" tanyaku kepada Sarman, nama lelaki tersebut.
"Ya!" sahut bapak tua itu singkat.
"Apakah Bapak menyaksikannya sendiri?" selidikku.
Sarman menganggukan kepalanya. Lalu dia menceritakan bahwa seorang pelayan yang telah belasan tahun bekerja pada seorang pengusaha kaya, telah dibunuh oleh si penguasaha itu sendiri di bungalow miliknya, tanpa seorang pun yang mengetahuinya. Dan mayat korbannya telah dikuburkan secara rahasia di salah satu sudut pekarangan bungalow itu. Setelah dikuburkan, kemudian di atas kuburan yang tanpa batu nisan itu ditanamai pohon rambutan cangkokan.
"Bagaimana mungkin Bapak tahu persis semua detil persoalan itu?" tanyaku.
"Sebab saya menyaksikan dengan mata kepala saya sendiri, Pak!" ujarnya.
"Kapan?" desakku.
"Kira-kira satu jam yang lalu," jelasnya.
Ah, ini benar-benar gila! Batinku. Bagaimana mungkin Pak Tua ini bisa mengetahi sedemikian detil sebuah kasus pembunuhan? Atau mungkin, dia hanya bicara ngawur?
"Baiklah, Pak Sarman," ujarku kemudian. "Laporan Bapak sudah saya terima. Dan sudah saya catat seperlunya. Kami akan melakukan penyelidikan dengan seksama."
Ketika Sarman bangkit dan keluar meninggalkan mejaku, muncul Kopral Harun.
"Ada orang yang memberikan pengaduan, rupanya?" tanya Harun ketika dilihatnya aku sedang membaca catatan.
"Ya," sahutku tanpa menoleh. "Apakah kau tidak bertemu dengan orang itu?"
"Di mana?" tanya Harun sambil celingukan.
"Dia baru saja keluar," sahutku.
Harun menggeleng.
"Jadi, kau tidak berpapasan dengannya?" tegasku.
"Tidak!" sahut Harun sambil memandangku dengan penuh keheranan.
"Kusangka dia akan berpapasan denganmu tadi, karena baru beberapa langkah dia meninggalkan mejaku, lalu kau muncul. Bagaimana mungkin kau tidak bertemu dengannya. Bukankah hanya ada satu pintu keluar di kantor kita yang kecil ini?" kataku.
"Aku tidak bohong. Aku memang tidak melihat siapapun ke luar dari sini," sahut Harun. "Kalau memang ada orang, tentunya dia bertemu denganku," balas Harun
Aku mengangkat wajah dan memandang Kopral Harun. Lalu aku menarik napas panjang. Tak terasa bulu kudukku berdiri meremang. Dan aku mulai berpikir sesuatu yang sama sekali jauh dari jangkauan akal sehat.
"Barangkali, dia lebih cepat menghindar, karena takut ketahuan orang. Kau pun tahu, rata-rata pelapor kasus pembunuhan merasa takut diketahui oleh orang lain," ujarku kemudian sambil coba menenangkan perasaan.
Kopral Harun duduk di kursi di depan mejaku, tempat di mana Sarman tadi duduk memberikan laporannya.
"Ya, suatu laporan pembunuhan," kataku lagi. "Orang yang memberikan laporan itu, menyaksikan sendiri pembunuhan tersebut," tambahku
Kopral Harun mengangkat telepon. Tanpa kuminta, dia menghubungi pos jaga dan menanyakan, apakah tadi ada seseorang yang telah meninggalkan pekarangan kantor kepolisian.
"Tidak ada, Kopral," sahut Prajurit Tarigan yang dihubungi.
"Tidak ada?" tanya Kopral Harun lagi penasaran.
"Hujan lebat sekali, siapa yang datang kalau bukan Kopral sendiri tadi?"
Mendengar percakapan tersebut, aku terlonjak dari dudukku. Bulu kudukku semakin berdiri tegak, jantungku berdegup kencang. Kudekati Kopral Harun.
"Aneh sekali kalau begitu," desisku. "Aku yakin ada seorang yang datang melapor tadi. Dan aku telah mencatat laporannya. Tapi bagaimana mungkin petugas jaga sampai tidak menyaksikan ada orang masuk dan keluar barusan?" aku menggelengkan kepala. Wajahku pasti keliahatan sangat tegang.
"Mungkin hantu!" seloroh Kopral Harun. "Atau, Sersan mungkin sedang menghayal?"
Aku menarik napas panjang. "Tidak mungkin hantu, atau aku sedang melamun, Harun," kataku memastikan. "Jelas sekali orang tua itu datang kehujanan. Dia basah kuyup dan wajahnya basah oleh air hujan. Malah kuperhatikan, wajahnya pucat pasi. Mungkin dia ketakutan sekali, karena telah menyaksiakn pembunuhan itu."
Kopral Harus tidak menanggapi apa yang kukatakan itu. Dia kemudian duduk di kursi, menghadap meja tulisnya sendiri.
Hingga beberapa lama aku pun hanya ikut terdiam. Dan entah mengapa, tiba-tiba perutku terasa agak sakit, ingin buang air besar. Kukatakan pada Harun, bahwa aku akan ke kamar mandi.
Belum beberapa lama aku berada di kamar mandi, tiba-tiba aku mendengar ketukan pintu. Suara Harun yang keras bagai berteriak, memanggilku.
"Sersan, orang tua yang bernama Sarman itu datang," katanya.
"Mau apa lagi dia?" tanyaku dari dalam.
"Dia mendesak agar segera dilakukan pemeriksaan terhadap laporan pembunuhan yang dilaporkannya pada Sersan tadi," jawab Harun dari luar pintu kamar mandi.
"Ya, terima sajalah laporannya!" sahutku.
Dan kemudian Kopral Harun pergi. Tak lama, aku juga selesai buang hajat dan keluar dari kamar mandi. Kutemui Harun di kamar kerja kami. Aneh, wajah Harun tampak sangat pucat.
"Ada apa?" tanyaku.
"Aneh sekali!" kata Harun. "Ketika aku kembali, sesudah melaporkan bahwa Pak Sarman datang kepada Sersan, lelaki tua itu sudah tidak ada lagi."
"Lantas, apa saja yang dikatakannya padamu?" tanyaku lagi.
"Dia mendesak, agar segera dilakukan pemeriksaan. Katanya, orang yang melakukan pembunuhan itu esok siang akan terbang ke Singapura!" jawab Kopral Harun.
Aku terdiam, tak tahu apa yang harus diperbuat. "Jadi dia datang lagi, bukan?" ujarku kemudian bagai berkata pada diri sendiri.
"Begitulah kenyataannya," kata Harun. "Dan aku sudah mengecek pada Tarigan, yang bertugas jaga di pintu gerbang kantor. Katanya, lagi-lagi, tidak ada seorang pun yang masuk. Malah tidak ada seorangpun yang melintas rumah jaga yang dikawalnya. Aneh, bukan? Besar kemungkinan, hantu atau arwah yang menjelma, yang melaporkan kejadian pembunuhan itu."
"Entahlah," sahutku dengan bulu kuduk berdiri meremang.
"Lantas, apa tindakan kita?"
"Besok kita laporkan pada komandan."
Namun, Kopral Harun ternyata tidak menyetujui keputusanku. Dia mendesak agar malam itu juga kami melakukan pemeriksaan. Akupun menyetujui usulan ini.
Akhirnya, tanpa perduli pada hujan yang masih turun sedemikian deras, bersama satu regu anggota, kami segera meluncur ke lokasi yang ditunjukkan Sarman, sesuai laporannya.
Aneh, ternyata apa yang dikatakan Sarman memang benar. Di salah satu sudut bungalow yang ditunjukkan Sarman, di bawah pohon rambutan, kami menemukan sesosok mayat yang masih baru. Mayat Sarman! Berdasarkan temuan itu, kami segera menyergap Hendarto, pelakunya.
Dalam pemeriksaan, Hendarto mengakui, memang dialah yang membunuh Sarman. Dan pembunuhan itu dilakukan ketika hujan sedang lebat-lebatnya. Dia melakukan perbuatan keji itu karena Sarman terlalu banyak tahu dengan urusannya. Dan Hendarto pun mengakui, setelah dilakukan penggeledahan dan ditemukan bubuk-bubuk heroin, bahwa dia selama ini melakukan perdagangan barang haram tersebut.
Karena tidak ingin rahasianya bocor, akhirnya dia membunuh Sarman. Sarman sendiri adalah pelayan pribadi di rumahnya. Dia mengajak Sarman ke bungalow, dan kemudian memukul kepalanya dengan benda keras.
"Aneh sekali!" bisik batinku. "Roh dari orang yang barus saja mati, datang sendiri memberikan laporan tentang pembunuhan atas dirinya."
Kini, kisah mistis yang cukup misterius itu sudah lama berlalu, dan aku sendiri sudah pensiun. Namun kedatangan Sarman dengan wajah pucat pasinya saat melaporkan pembunuhan atas dirinya itu, tidak pernah hilang dari pikiranku. Terserah Anda untuk percaya atau tidak terhadap kisah mistis yang kualami ini.
Sebuah kisah mistis yang fenomenal yang dialami oleh seorang anggota kepolisian yang kini telah pensiun. Suatu ketika dia didatangi sesosok arwah yang melaporkan kasus pembunuhan yang menimpanya....
Aku sedang bertugas malam ketika hujan turun dengan lebatnya. Di luar Pos Resort Kepolisian tempatku bekerja malam itu, keadaan gelap gulita. Udara pun terasa sangat dingin.
Untuk sekedar membuang kantuk, sudah bergelas-gelas kopi pahit kuteguk. Sementara itu, Kopral Harun, rekan anggota yang juga bertugas piket dengannku belum juga muncul. Padahal dia tadi meminta izin hanya sebentar ke luar, dengan alasan hendak membeli rokok dan makanan ringan.
Ketika aku tengah mengenakan jaket untuk sekedar menghangatkan tubuh, tiba-tiba pintu depan diketuk seseorang. Dengan sigap aku berteriak mempersilakan tamu itu masuk. Sejurus kemudian, seorang tua dengan wajah basah terkena air hujan, muncul di hadapanku. Dia berdiri beberapa langka di depan mejaku. Dia memperknelakan namanya, dan mengaku hendak melaporkan terjadinya suatu pembunuhan.
"Apa? Pembunuhan?" tanyaku kepada Sarman, nama lelaki tersebut.
"Ya!" sahut bapak tua itu singkat.
"Apakah Bapak menyaksikannya sendiri?" selidikku.
Sarman menganggukan kepalanya. Lalu dia menceritakan bahwa seorang pelayan yang telah belasan tahun bekerja pada seorang pengusaha kaya, telah dibunuh oleh si penguasaha itu sendiri di bungalow miliknya, tanpa seorang pun yang mengetahuinya. Dan mayat korbannya telah dikuburkan secara rahasia di salah satu sudut pekarangan bungalow itu. Setelah dikuburkan, kemudian di atas kuburan yang tanpa batu nisan itu ditanamai pohon rambutan cangkokan.
"Bagaimana mungkin Bapak tahu persis semua detil persoalan itu?" tanyaku.
"Sebab saya menyaksikan dengan mata kepala saya sendiri, Pak!" ujarnya.
"Kapan?" desakku.
"Kira-kira satu jam yang lalu," jelasnya.
Ah, ini benar-benar gila! Batinku. Bagaimana mungkin Pak Tua ini bisa mengetahi sedemikian detil sebuah kasus pembunuhan? Atau mungkin, dia hanya bicara ngawur?
"Baiklah, Pak Sarman," ujarku kemudian. "Laporan Bapak sudah saya terima. Dan sudah saya catat seperlunya. Kami akan melakukan penyelidikan dengan seksama."
Ketika Sarman bangkit dan keluar meninggalkan mejaku, muncul Kopral Harun.
"Ada orang yang memberikan pengaduan, rupanya?" tanya Harun ketika dilihatnya aku sedang membaca catatan.
"Ya," sahutku tanpa menoleh. "Apakah kau tidak bertemu dengan orang itu?"
"Di mana?" tanya Harun sambil celingukan.
"Dia baru saja keluar," sahutku.
Harun menggeleng.
"Jadi, kau tidak berpapasan dengannya?" tegasku.
"Tidak!" sahut Harun sambil memandangku dengan penuh keheranan.
"Kusangka dia akan berpapasan denganmu tadi, karena baru beberapa langkah dia meninggalkan mejaku, lalu kau muncul. Bagaimana mungkin kau tidak bertemu dengannya. Bukankah hanya ada satu pintu keluar di kantor kita yang kecil ini?" kataku.
"Aku tidak bohong. Aku memang tidak melihat siapapun ke luar dari sini," sahut Harun. "Kalau memang ada orang, tentunya dia bertemu denganku," balas Harun
Aku mengangkat wajah dan memandang Kopral Harun. Lalu aku menarik napas panjang. Tak terasa bulu kudukku berdiri meremang. Dan aku mulai berpikir sesuatu yang sama sekali jauh dari jangkauan akal sehat.
"Barangkali, dia lebih cepat menghindar, karena takut ketahuan orang. Kau pun tahu, rata-rata pelapor kasus pembunuhan merasa takut diketahui oleh orang lain," ujarku kemudian sambil coba menenangkan perasaan.
Kopral Harun duduk di kursi di depan mejaku, tempat di mana Sarman tadi duduk memberikan laporannya.
"Ya, suatu laporan pembunuhan," kataku lagi. "Orang yang memberikan laporan itu, menyaksikan sendiri pembunuhan tersebut," tambahku
Kopral Harun mengangkat telepon. Tanpa kuminta, dia menghubungi pos jaga dan menanyakan, apakah tadi ada seseorang yang telah meninggalkan pekarangan kantor kepolisian.
"Tidak ada, Kopral," sahut Prajurit Tarigan yang dihubungi.
"Tidak ada?" tanya Kopral Harun lagi penasaran.
"Hujan lebat sekali, siapa yang datang kalau bukan Kopral sendiri tadi?"
Mendengar percakapan tersebut, aku terlonjak dari dudukku. Bulu kudukku semakin berdiri tegak, jantungku berdegup kencang. Kudekati Kopral Harun.
"Aneh sekali kalau begitu," desisku. "Aku yakin ada seorang yang datang melapor tadi. Dan aku telah mencatat laporannya. Tapi bagaimana mungkin petugas jaga sampai tidak menyaksikan ada orang masuk dan keluar barusan?" aku menggelengkan kepala. Wajahku pasti keliahatan sangat tegang.
"Mungkin hantu!" seloroh Kopral Harun. "Atau, Sersan mungkin sedang menghayal?"
Aku menarik napas panjang. "Tidak mungkin hantu, atau aku sedang melamun, Harun," kataku memastikan. "Jelas sekali orang tua itu datang kehujanan. Dia basah kuyup dan wajahnya basah oleh air hujan. Malah kuperhatikan, wajahnya pucat pasi. Mungkin dia ketakutan sekali, karena telah menyaksiakn pembunuhan itu."
Kopral Harus tidak menanggapi apa yang kukatakan itu. Dia kemudian duduk di kursi, menghadap meja tulisnya sendiri.
Hingga beberapa lama aku pun hanya ikut terdiam. Dan entah mengapa, tiba-tiba perutku terasa agak sakit, ingin buang air besar. Kukatakan pada Harun, bahwa aku akan ke kamar mandi.
Belum beberapa lama aku berada di kamar mandi, tiba-tiba aku mendengar ketukan pintu. Suara Harun yang keras bagai berteriak, memanggilku.
"Sersan, orang tua yang bernama Sarman itu datang," katanya.
"Mau apa lagi dia?" tanyaku dari dalam.
"Dia mendesak agar segera dilakukan pemeriksaan terhadap laporan pembunuhan yang dilaporkannya pada Sersan tadi," jawab Harun dari luar pintu kamar mandi.
"Ya, terima sajalah laporannya!" sahutku.
Dan kemudian Kopral Harun pergi. Tak lama, aku juga selesai buang hajat dan keluar dari kamar mandi. Kutemui Harun di kamar kerja kami. Aneh, wajah Harun tampak sangat pucat.
"Ada apa?" tanyaku.
"Aneh sekali!" kata Harun. "Ketika aku kembali, sesudah melaporkan bahwa Pak Sarman datang kepada Sersan, lelaki tua itu sudah tidak ada lagi."
"Lantas, apa saja yang dikatakannya padamu?" tanyaku lagi.
"Dia mendesak, agar segera dilakukan pemeriksaan. Katanya, orang yang melakukan pembunuhan itu esok siang akan terbang ke Singapura!" jawab Kopral Harun.
Aku terdiam, tak tahu apa yang harus diperbuat. "Jadi dia datang lagi, bukan?" ujarku kemudian bagai berkata pada diri sendiri.
"Begitulah kenyataannya," kata Harun. "Dan aku sudah mengecek pada Tarigan, yang bertugas jaga di pintu gerbang kantor. Katanya, lagi-lagi, tidak ada seorang pun yang masuk. Malah tidak ada seorangpun yang melintas rumah jaga yang dikawalnya. Aneh, bukan? Besar kemungkinan, hantu atau arwah yang menjelma, yang melaporkan kejadian pembunuhan itu."
"Entahlah," sahutku dengan bulu kuduk berdiri meremang.
"Lantas, apa tindakan kita?"
"Besok kita laporkan pada komandan."
Namun, Kopral Harun ternyata tidak menyetujui keputusanku. Dia mendesak agar malam itu juga kami melakukan pemeriksaan. Akupun menyetujui usulan ini.
Akhirnya, tanpa perduli pada hujan yang masih turun sedemikian deras, bersama satu regu anggota, kami segera meluncur ke lokasi yang ditunjukkan Sarman, sesuai laporannya.
Aneh, ternyata apa yang dikatakan Sarman memang benar. Di salah satu sudut bungalow yang ditunjukkan Sarman, di bawah pohon rambutan, kami menemukan sesosok mayat yang masih baru. Mayat Sarman! Berdasarkan temuan itu, kami segera menyergap Hendarto, pelakunya.
Dalam pemeriksaan, Hendarto mengakui, memang dialah yang membunuh Sarman. Dan pembunuhan itu dilakukan ketika hujan sedang lebat-lebatnya. Dia melakukan perbuatan keji itu karena Sarman terlalu banyak tahu dengan urusannya. Dan Hendarto pun mengakui, setelah dilakukan penggeledahan dan ditemukan bubuk-bubuk heroin, bahwa dia selama ini melakukan perdagangan barang haram tersebut.
Karena tidak ingin rahasianya bocor, akhirnya dia membunuh Sarman. Sarman sendiri adalah pelayan pribadi di rumahnya. Dia mengajak Sarman ke bungalow, dan kemudian memukul kepalanya dengan benda keras.
"Aneh sekali!" bisik batinku. "Roh dari orang yang barus saja mati, datang sendiri memberikan laporan tentang pembunuhan atas dirinya."
Kini, kisah mistis yang cukup misterius itu sudah lama berlalu, dan aku sendiri sudah pensiun. Namun kedatangan Sarman dengan wajah pucat pasinya saat melaporkan pembunuhan atas dirinya itu, tidak pernah hilang dari pikiranku. Terserah Anda untuk percaya atau tidak terhadap kisah mistis yang kualami ini.
Comments
Post a Comment
tuliskan komentar anda untuk tanya jawab seputar ilmu di atas dan juga silakan menjawab komentar sedulur yang kira2 bisa menjawab isi komentar yang sudah ada.
terima kasih..