AKIBAT MAKAMNYA DIGANGGU JIN KAFIR, ARWAH MERTUAKU GENTAYANGAN
Penulis : M. IQBAL
Kisah mistis ini dialami oleh seorang pengusaha Showbiz Jakarta, sebutlah MN, yang hingga saat ini masih keliling Indonesia dan Malaysia dalam menjalankan roda usahanya di bidang entertainment....
Jantungku bergetar hebat tatkala kulihat sosok Bunda di bandara Hang Nadim, Batam, 16 Oktober 2005, pukul 10.45 WIB. Kemeja hijau, tutup kepala hijau muda, celana jin hitam ketat dan tas traveling bag louis vitton warna coklat di pundaknya. “Bunda...Bunda!” teriakku kepadanya, sambil bergegas menuju ke arahnya di pelataran bandara.
Bunda seperti tidak mendengar teriakanku. Kakinya yang lincah dengan cepat melangkah dan memasuki taksi warna biru dan terus melaju ke arah Nagoya. Aku memperkeras teriakanku, tapi Bunda dan sopir taksi itu tak bergeming, bahkan dengan cepat melesat keluar areal bandara Hang Nadim.
Aku segera menaiki taksi yang lain. Sayang, supir taksi yang kunaiki sudah berumur. Pria berkulit hitam dan berkeriput di bagian leher itu tak mampu mengejar taksi dengan nomor polisi BM 3344 AH yang ditumpangi Bunda. Ah, untunglah aku masih sempat melihat dan mencatat nomor ini. Kalau tidak, pastilah aku tak pernah bisa tahu apa yang sesungguhnya telah terjadi dengan Bunda.
Dengan berbekal nomor itu, aku menghubungi pool taksi yang dinaiki Bunda. Kepada petugas pool aku menanyakan identitas diri sopir taksi yang dinaiki Bunda. Ternyata taksi itu dikemudikan oleh seorang bernama Amir Syarifudin, warga Pasar Jodoh.
Ringkas cerita, oleh pihak manajemen taksi aku dipertemukan dengan Amir Syarifudin. Kudesak pria muda ini dengan ragam pertanyaan, intinya adalah di mana perempuan yang kumaksud sebagai Bunda itu diantarkannya.
“Di Nagoya Plaza, Pak!” Aku Pak Amir Syarifudin. Dia lalu menceritakan, saat di taksi Bunda tak bicara sepatah katapun, kecuali menyebut Nagoya Plaza. Setelah itu dia memberi uang Rp 100 ribu dan tidak minta kembalian. Padahal ongkos taksi hanya 45 ribu ruopiah. Jadi 55 ribu rupiah kelebihannya.
“Biasa, setelah mendrop penumpang ke tujuannya, saya segera jalan dan mencari penumpang lainnya!” Tambah Amir, pendek.
Setelah bertemu dengan Pak Amir, aku menuju Nagoya Plaza. Aku naik semua lantai dan memasuki semua ruang berikut counter yang ada. Tapi tak satupun tanda-tanda menunjukkan keberadaan Bunda di situ. Ribuan manusia yang ada di pusat perbelanjaan, tak nampak seujung kuku pun sosok Bunda di kerumunan itu.
Dengan lemas aku kembali ke tujuan utamaku. Aku segera menuju hotel La Paz di Bukit Kermunting. Pukul 17 petang aku akan meeting dengan panitia Sowbiz Jamz yang akan mengelar atraksi Hard Rock Grup Spectrum dari Negeri Jiran, Malaysia.
Sesampianya di La Paz kamar 5113 panthouse aku merebahkan diri dan melamunkan Bunda.
Bunda adalah mertuaku yang meninggal dunia pada l7 April 2005 lalu. Karena ada permintaan khusus, minta dimakamkan di Kuala Tual, Tanjungpinang, Riau Kepulauan. Sesuai dengan permintaannya, Bunda disemayamkan di pemakaman keluarga di Tual, 18 April 2005.
Tanggal 20 April pukul 19.30 malam, ada kabar buruk dari Tanjungpinang yang menyebut bahwa orang sekampung geger karena banyak yang mengaku berpapasan dengan Bunda. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Yang pasti, banyak yang menganggap kalau Bunda hidup lagi dan membuat geger kota kecil Kuala Tual.
Waktu itu Erni, mantan isteriku, segera menelpon dan meminta aku datang. Walau kami sudah bercerai sejak tahun 2001, hubungan kami masih sangat baik. Apalagi aku punya dua anak dari perkawinanku selama 10 tahun dengan Erni.
“Apa mungkin orang yang sudah mati hidup lagi, Bang? Masak beberapa saudara di Tual memberi tahu bahwa Bunda hidup lagi dan bergentayangan keliling kota. Malah warga bilang Bunda menjadi hantu. Benarkah hal begituan ada Bang?” Kata Erni dengan bertubi-tubi.
"Entahlah! Tapi aku rasa itu sangat mustahil," jawabku sambil menggeleng lemah.
Aku memang buta sama sekali dengan hal-hal yang berbau gaib. Untuk itu aku tak mampu memberi jawaban dan keterangan yang berarti guna memuaskan hati mantanku itu. Tapi yang jelas aku pernah mendengar sejak kecil bahwa ada orang mati yang hidup lagi dan menjadi hantu. Biasanya, mayat yang jadi hantu itu adalah mayat penjahat, pembunuh dan manusia yang punya superdosa dunia. Itulah hal yang kukatakan pada Erni.
“Tapi Bunda kan orang baik. Dia punya rasa kasih sayang yang besar sesama manusia. Jiwa sosialnya sangat tinggi dan gemar membantu orang-orang yang berada dalam kesulitan. Jangankan pada keluarga, pada orang lainpun Bunda sangat baik. Bahkan, sholatnya pun rajin sekali. Sembahyangnya, jika tidak lagi berhalangan, Bunda melakukan rutin lima waktu dan rajin sekali sembahyang sunnah. Bunda sangat mencintai keluarganya, tetangga dan teman-temannya di organisasi Ikatan Pengusaha Wanita Indonesia IWAPI. Lantas, bagaimana mungkin arwahnya bisa gentayangan?" Sesal Erni dengan sorot mata menerawang jauh.
Seperti pandangan Erni tentang Bunda, aku pun tak begitu yakin Bunda arwahnya gentayangan. Soso yang mirip Bunda itu, pikirku, pastilah bukan arwah Bunda yang sebenarnya. Bisa saja setan yang meniru-niru Bunda, dengan maksud ingin menebar fitnah. Karena kemiripan itu, maka warga Tual mengira itu adalah Bunda. Lalu mereka mengatakan bahwa arwah Bunda gentayangan dan menjadi hantu.
Ah, aneh sekali, memang! Kusarankan pada Erni agar tidak terganggu dengan isyu yang amat musykil itu. Anggaplah cerita itu sebagai sebuah halusinasi atau hayalan yang tak pernah menjadi kenyataan. Bahkan katakanlah hal itu sebagai isapan jempol belaka.
Erni mengangguk. Erni mulai merasa tenang dan siap mental menghadapi isyu aneh dan irasional itu. Sejak itu Erni lebih berbesar hati, lebih taktis menanggai cerita demi cerita yang sampai di kupingnya. Tapi diam-diam, Erni selalu mengadakan pengajian warga kompleks di lingkungan tempat tinggalnya dan meminta ibu-ibu anggota pengajian mendoakan almarhumah ibunya dan membacakan surat Al Fatihah agar arwahnya di terima secara layak di sisi Allah dan menjadi salah seorang penghuni surga.
Hari ke hari, bulan ke bulan terus berlalu. Selain pikiran Erni mulai menjadi tenang, suara-suara miring tentang arwah Bunda yang gentayangan pun perlahan tapi pasti mulai memudar.
Bahkan, warga yang menyebarkan isu pertama kali di Tual tentang Bunda jadi hantu, meninggal dunia karena kecelakaan boat dan diduga pula arwahnya penasaran karena proses kematiannya yang mendadak dan tidak wajar. Fitnah, zalim, sombong, lalim, nyinyir dan pelit, itulah prilaku yang kemudian memungkinkan warga bernama Hartati itu menjadi sebab cerita mirinya setelah kematiannya . Arwahnya konon penasaran dan bergentayangan, bahkan kerap menakut-nakuti warga.
Tetapi soal arwah-arwah yang gentayangan ini, aku sama sekali sulit mempercayainya. Bukankah seorang yang telah mati putus hubungannya dengan dunia tempat kita hidup....?
***
Saat lamunanku melayang kepada Erni dan Bunda, tiba-tiba pintu kamarku ada yang mengetuk. Keras sekali, sehingga membuat detak jantungku menjadi lebih cepat. Aku segera beranjak dan membuka pintu. Di sana berdiri seorang yang wajahnya tak asing lagi bagiku. Kuperhatikan sosok itu dari ujung kaki hingga ke ujung rambut. Sepatu lancip warga hitam berornamen berlian, celana jin ketat hitam, kemeja hijau dan tutup kepala hijau muda dengan tas Louis Vitton warnah coklat.
Bunda! Ya, itulah Bunda yang sedang menjadi lamunanku. Bunda berdiri kaku di hadapanku. Karena sulit percaya, mulutku tak mampu mengucapkan sepatah katapun. Namun yang pasti, kulihat wajah Bunda nampak pucat dan matanya sangat kosong menatap ke mataku. Jantungku makin berdetak hebat dan tubuhku terasa “mati” seketika.
Takut! Ya, aku memang takut. Bahkan perasan ini bergelayut hebat dalam benakku manakala aku sadar kalau Bunda sudah lama tiada. Lalu, siapa yang berdiri di hadapanku ini?
Batinku bergejolak dan tengkukku merinding dengan keringat dingin yang mulai mengucur. Bayangkanku jauh pada Erni di Tual sana. Ya, bayangan itu sekali-kali berpindah pada warga Tual yang heboh dengan cerita kebangkitan arwah Bunda. Apa yang diramaikan orang, yang dipergunjingkan orang selama ini di Tual, mungkinkah benar adanya. Ya, Bunda benar-benar hidup lagi dan berada di depanku. Apa yang kuragukan, apa yang kusangsikan selama ini, ternyata berbeda. Bunda benar-benar ada dan kuyakini dia menjadi seperti apa yang orang Tual sebut.
Dengan sisa-sisa keberanianku, aku berusaha mengucapkan sesuatu pada Bunda. "A...apa kabar, Bunda? Mari, si...slakan masuk!" Demikian patahan kalimat yang mulncur gemetar dari mulutku.
Namun, Bunda tidak begeming. Jangankan berkata-kata, bergerak barang sejengkal pun tidak dilakukannya untukku. Dalam waktu sepersekian detik setelah sapaan terakhirku, Bunda malah menghilang seperti angin. Persis bagaikan spiritus dilalap api.
“Bunda, Bunda!” panggilku. Tapi Bunda tak nampak lagi. Dari ujung ke ujung lorong aku telusuri, Bunda tak ada di situ.
Jantungku makin bergetar hebat. Nyaliku makin ciut dan rasa takut semakin bergelayut, membuncah dahsyat dalam batinku. Aku segera masuk kamar dan menelpon ke front office. Aku minta supaya ada seorang security yang naik ke kamarku. Aku mau menceritakan apa yang kulihat dan rasa takut yang kualami.
Sebelum security datang, karena rasa takut yang teramat besar, aku jadi kepingin kencing. Tapi ada perasaan aman karena security sebentar lagi datang ke kamarku. Aku bergegas ke kamar mandi dan membuka pintu. Jantungku kembali berguncang hebat. Bunda berdiri di kamar mandi menghadap ke arahku. Kali ini aku berlari keluar dan meninggalkan kamar. Security bertemu aku di depan lift. Aku segera menarik tangannya dan menunjukkan keberadaan Bunda di kamar mandi.
Tapi sayang, Bunda tak ada lagi di kamar mandi. Security geleng kepala setelah kuceritakan keadaan yang kulihat tadi kepadanya.
“Maaf, mungkin bapak berhalusinasi tentang apa yang Bapak lihat. Tidak mungkin ada orang di kamar mandi, sebab pintu-pintu kamar do hotel ini selalu terkunci!” Paparnya dengan tegas.
Hari itu juga aku pindah kamar. Aku minta kamar lain dan minta ditemani seorang angota panitia setempat.
Setelah pertemuan sore, aku besama salah seorang anggota panitia yang mengawalku naik lagi ke kamar. Setelah membka pintu, anehnya bayangan Bunda ada lagi di kamar baruku. Dia duduk di sofa sambil memegang kipas batik warna coklat miliknya dulu. Pengawalku juga melihat sosok Bunda di sofa itu. Aku disuruhnya duduk dekat dia dan dia memintaku menyampaikan pesannya kepada anak-anaknya. Bunda minta dikubur ulang dan makamnya dibersihkan dari gangguan jin.
Setelah berpesan, Bunda menghilang entah ke mana. Setelah itu Bunda tak nampak lagi hingga acara showbiz selesai. Namun walau Bunda tidak ada, batinku tetap terguncang karena seumur hidup bari kali itu aku bertemu dengan orang mati yang hidup kembali.
Kusampaikan amanat Bunda kepada keluarganya. Setelah anak-anak Bunda sepakat, termasuk Erni, mantan istriku untuk membersihkan makam dan mengubur ulang, kami berangkat ke Tanjungpinang dari Jakarta. Bersama kami seorang ahli pengusir jin yang siap menyempurnakan pemakaman dan mengusir jin-jin jahat yang mengganggu arwah Bunda. Menurut si paranormal, jin-jin yang menghuni kuburan itu adalah jin yang suka mengganggu orang-orang mati agar arwahnya gentayangan.
“Jadi, arwah manusia yang gentayangan itu tidak selamanya orang jahat dan penghuni neraka yang ditolak alam barzah. Orang baik pun, bahkan ulama besar pun, bisa gentayangan arwahnya bila makamnya dihuni oleh jin-jin kafir yang jahat!” Jelas Ustadz Komarudin, ulama yang membersihakn makam Bunda.
Tahulah kami bahwa kasus arwah Bunda yang gentayangan, bukanlah gossip atau dongeng isapan jempol. Hal tersebut rupanya benar-benar nyata dan ada. Arwah Bunda benar-benar bergentayangan dan menjadi momok yang menakut-nakuti warga, termasuk aku, mantan menantunya.
Kami semua akhirnya percaya bahwa hal-hal gaib itu ada dan Allah terkadang menunjukkan seesuatu yang gaib itu dapat kasat mata dan berinteraksi dengan manusia yang hidup.
Kisah mistis ini dialami oleh seorang pengusaha Showbiz Jakarta, sebutlah MN, yang hingga saat ini masih keliling Indonesia dan Malaysia dalam menjalankan roda usahanya di bidang entertainment....
Jantungku bergetar hebat tatkala kulihat sosok Bunda di bandara Hang Nadim, Batam, 16 Oktober 2005, pukul 10.45 WIB. Kemeja hijau, tutup kepala hijau muda, celana jin hitam ketat dan tas traveling bag louis vitton warna coklat di pundaknya. “Bunda...Bunda!” teriakku kepadanya, sambil bergegas menuju ke arahnya di pelataran bandara.
Bunda seperti tidak mendengar teriakanku. Kakinya yang lincah dengan cepat melangkah dan memasuki taksi warna biru dan terus melaju ke arah Nagoya. Aku memperkeras teriakanku, tapi Bunda dan sopir taksi itu tak bergeming, bahkan dengan cepat melesat keluar areal bandara Hang Nadim.
Aku segera menaiki taksi yang lain. Sayang, supir taksi yang kunaiki sudah berumur. Pria berkulit hitam dan berkeriput di bagian leher itu tak mampu mengejar taksi dengan nomor polisi BM 3344 AH yang ditumpangi Bunda. Ah, untunglah aku masih sempat melihat dan mencatat nomor ini. Kalau tidak, pastilah aku tak pernah bisa tahu apa yang sesungguhnya telah terjadi dengan Bunda.
Dengan berbekal nomor itu, aku menghubungi pool taksi yang dinaiki Bunda. Kepada petugas pool aku menanyakan identitas diri sopir taksi yang dinaiki Bunda. Ternyata taksi itu dikemudikan oleh seorang bernama Amir Syarifudin, warga Pasar Jodoh.
Ringkas cerita, oleh pihak manajemen taksi aku dipertemukan dengan Amir Syarifudin. Kudesak pria muda ini dengan ragam pertanyaan, intinya adalah di mana perempuan yang kumaksud sebagai Bunda itu diantarkannya.
“Di Nagoya Plaza, Pak!” Aku Pak Amir Syarifudin. Dia lalu menceritakan, saat di taksi Bunda tak bicara sepatah katapun, kecuali menyebut Nagoya Plaza. Setelah itu dia memberi uang Rp 100 ribu dan tidak minta kembalian. Padahal ongkos taksi hanya 45 ribu ruopiah. Jadi 55 ribu rupiah kelebihannya.
“Biasa, setelah mendrop penumpang ke tujuannya, saya segera jalan dan mencari penumpang lainnya!” Tambah Amir, pendek.
Setelah bertemu dengan Pak Amir, aku menuju Nagoya Plaza. Aku naik semua lantai dan memasuki semua ruang berikut counter yang ada. Tapi tak satupun tanda-tanda menunjukkan keberadaan Bunda di situ. Ribuan manusia yang ada di pusat perbelanjaan, tak nampak seujung kuku pun sosok Bunda di kerumunan itu.
Dengan lemas aku kembali ke tujuan utamaku. Aku segera menuju hotel La Paz di Bukit Kermunting. Pukul 17 petang aku akan meeting dengan panitia Sowbiz Jamz yang akan mengelar atraksi Hard Rock Grup Spectrum dari Negeri Jiran, Malaysia.
Sesampianya di La Paz kamar 5113 panthouse aku merebahkan diri dan melamunkan Bunda.
Bunda adalah mertuaku yang meninggal dunia pada l7 April 2005 lalu. Karena ada permintaan khusus, minta dimakamkan di Kuala Tual, Tanjungpinang, Riau Kepulauan. Sesuai dengan permintaannya, Bunda disemayamkan di pemakaman keluarga di Tual, 18 April 2005.
Tanggal 20 April pukul 19.30 malam, ada kabar buruk dari Tanjungpinang yang menyebut bahwa orang sekampung geger karena banyak yang mengaku berpapasan dengan Bunda. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Yang pasti, banyak yang menganggap kalau Bunda hidup lagi dan membuat geger kota kecil Kuala Tual.
Waktu itu Erni, mantan isteriku, segera menelpon dan meminta aku datang. Walau kami sudah bercerai sejak tahun 2001, hubungan kami masih sangat baik. Apalagi aku punya dua anak dari perkawinanku selama 10 tahun dengan Erni.
“Apa mungkin orang yang sudah mati hidup lagi, Bang? Masak beberapa saudara di Tual memberi tahu bahwa Bunda hidup lagi dan bergentayangan keliling kota. Malah warga bilang Bunda menjadi hantu. Benarkah hal begituan ada Bang?” Kata Erni dengan bertubi-tubi.
"Entahlah! Tapi aku rasa itu sangat mustahil," jawabku sambil menggeleng lemah.
Aku memang buta sama sekali dengan hal-hal yang berbau gaib. Untuk itu aku tak mampu memberi jawaban dan keterangan yang berarti guna memuaskan hati mantanku itu. Tapi yang jelas aku pernah mendengar sejak kecil bahwa ada orang mati yang hidup lagi dan menjadi hantu. Biasanya, mayat yang jadi hantu itu adalah mayat penjahat, pembunuh dan manusia yang punya superdosa dunia. Itulah hal yang kukatakan pada Erni.
“Tapi Bunda kan orang baik. Dia punya rasa kasih sayang yang besar sesama manusia. Jiwa sosialnya sangat tinggi dan gemar membantu orang-orang yang berada dalam kesulitan. Jangankan pada keluarga, pada orang lainpun Bunda sangat baik. Bahkan, sholatnya pun rajin sekali. Sembahyangnya, jika tidak lagi berhalangan, Bunda melakukan rutin lima waktu dan rajin sekali sembahyang sunnah. Bunda sangat mencintai keluarganya, tetangga dan teman-temannya di organisasi Ikatan Pengusaha Wanita Indonesia IWAPI. Lantas, bagaimana mungkin arwahnya bisa gentayangan?" Sesal Erni dengan sorot mata menerawang jauh.
Seperti pandangan Erni tentang Bunda, aku pun tak begitu yakin Bunda arwahnya gentayangan. Soso yang mirip Bunda itu, pikirku, pastilah bukan arwah Bunda yang sebenarnya. Bisa saja setan yang meniru-niru Bunda, dengan maksud ingin menebar fitnah. Karena kemiripan itu, maka warga Tual mengira itu adalah Bunda. Lalu mereka mengatakan bahwa arwah Bunda gentayangan dan menjadi hantu.
Ah, aneh sekali, memang! Kusarankan pada Erni agar tidak terganggu dengan isyu yang amat musykil itu. Anggaplah cerita itu sebagai sebuah halusinasi atau hayalan yang tak pernah menjadi kenyataan. Bahkan katakanlah hal itu sebagai isapan jempol belaka.
Erni mengangguk. Erni mulai merasa tenang dan siap mental menghadapi isyu aneh dan irasional itu. Sejak itu Erni lebih berbesar hati, lebih taktis menanggai cerita demi cerita yang sampai di kupingnya. Tapi diam-diam, Erni selalu mengadakan pengajian warga kompleks di lingkungan tempat tinggalnya dan meminta ibu-ibu anggota pengajian mendoakan almarhumah ibunya dan membacakan surat Al Fatihah agar arwahnya di terima secara layak di sisi Allah dan menjadi salah seorang penghuni surga.
Hari ke hari, bulan ke bulan terus berlalu. Selain pikiran Erni mulai menjadi tenang, suara-suara miring tentang arwah Bunda yang gentayangan pun perlahan tapi pasti mulai memudar.
Bahkan, warga yang menyebarkan isu pertama kali di Tual tentang Bunda jadi hantu, meninggal dunia karena kecelakaan boat dan diduga pula arwahnya penasaran karena proses kematiannya yang mendadak dan tidak wajar. Fitnah, zalim, sombong, lalim, nyinyir dan pelit, itulah prilaku yang kemudian memungkinkan warga bernama Hartati itu menjadi sebab cerita mirinya setelah kematiannya . Arwahnya konon penasaran dan bergentayangan, bahkan kerap menakut-nakuti warga.
Tetapi soal arwah-arwah yang gentayangan ini, aku sama sekali sulit mempercayainya. Bukankah seorang yang telah mati putus hubungannya dengan dunia tempat kita hidup....?
***
Saat lamunanku melayang kepada Erni dan Bunda, tiba-tiba pintu kamarku ada yang mengetuk. Keras sekali, sehingga membuat detak jantungku menjadi lebih cepat. Aku segera beranjak dan membuka pintu. Di sana berdiri seorang yang wajahnya tak asing lagi bagiku. Kuperhatikan sosok itu dari ujung kaki hingga ke ujung rambut. Sepatu lancip warga hitam berornamen berlian, celana jin ketat hitam, kemeja hijau dan tutup kepala hijau muda dengan tas Louis Vitton warnah coklat.
Bunda! Ya, itulah Bunda yang sedang menjadi lamunanku. Bunda berdiri kaku di hadapanku. Karena sulit percaya, mulutku tak mampu mengucapkan sepatah katapun. Namun yang pasti, kulihat wajah Bunda nampak pucat dan matanya sangat kosong menatap ke mataku. Jantungku makin berdetak hebat dan tubuhku terasa “mati” seketika.
Takut! Ya, aku memang takut. Bahkan perasan ini bergelayut hebat dalam benakku manakala aku sadar kalau Bunda sudah lama tiada. Lalu, siapa yang berdiri di hadapanku ini?
Batinku bergejolak dan tengkukku merinding dengan keringat dingin yang mulai mengucur. Bayangkanku jauh pada Erni di Tual sana. Ya, bayangan itu sekali-kali berpindah pada warga Tual yang heboh dengan cerita kebangkitan arwah Bunda. Apa yang diramaikan orang, yang dipergunjingkan orang selama ini di Tual, mungkinkah benar adanya. Ya, Bunda benar-benar hidup lagi dan berada di depanku. Apa yang kuragukan, apa yang kusangsikan selama ini, ternyata berbeda. Bunda benar-benar ada dan kuyakini dia menjadi seperti apa yang orang Tual sebut.
Dengan sisa-sisa keberanianku, aku berusaha mengucapkan sesuatu pada Bunda. "A...apa kabar, Bunda? Mari, si...slakan masuk!" Demikian patahan kalimat yang mulncur gemetar dari mulutku.
Namun, Bunda tidak begeming. Jangankan berkata-kata, bergerak barang sejengkal pun tidak dilakukannya untukku. Dalam waktu sepersekian detik setelah sapaan terakhirku, Bunda malah menghilang seperti angin. Persis bagaikan spiritus dilalap api.
“Bunda, Bunda!” panggilku. Tapi Bunda tak nampak lagi. Dari ujung ke ujung lorong aku telusuri, Bunda tak ada di situ.
Jantungku makin bergetar hebat. Nyaliku makin ciut dan rasa takut semakin bergelayut, membuncah dahsyat dalam batinku. Aku segera masuk kamar dan menelpon ke front office. Aku minta supaya ada seorang security yang naik ke kamarku. Aku mau menceritakan apa yang kulihat dan rasa takut yang kualami.
Sebelum security datang, karena rasa takut yang teramat besar, aku jadi kepingin kencing. Tapi ada perasaan aman karena security sebentar lagi datang ke kamarku. Aku bergegas ke kamar mandi dan membuka pintu. Jantungku kembali berguncang hebat. Bunda berdiri di kamar mandi menghadap ke arahku. Kali ini aku berlari keluar dan meninggalkan kamar. Security bertemu aku di depan lift. Aku segera menarik tangannya dan menunjukkan keberadaan Bunda di kamar mandi.
Tapi sayang, Bunda tak ada lagi di kamar mandi. Security geleng kepala setelah kuceritakan keadaan yang kulihat tadi kepadanya.
“Maaf, mungkin bapak berhalusinasi tentang apa yang Bapak lihat. Tidak mungkin ada orang di kamar mandi, sebab pintu-pintu kamar do hotel ini selalu terkunci!” Paparnya dengan tegas.
Hari itu juga aku pindah kamar. Aku minta kamar lain dan minta ditemani seorang angota panitia setempat.
Setelah pertemuan sore, aku besama salah seorang anggota panitia yang mengawalku naik lagi ke kamar. Setelah membka pintu, anehnya bayangan Bunda ada lagi di kamar baruku. Dia duduk di sofa sambil memegang kipas batik warna coklat miliknya dulu. Pengawalku juga melihat sosok Bunda di sofa itu. Aku disuruhnya duduk dekat dia dan dia memintaku menyampaikan pesannya kepada anak-anaknya. Bunda minta dikubur ulang dan makamnya dibersihkan dari gangguan jin.
Setelah berpesan, Bunda menghilang entah ke mana. Setelah itu Bunda tak nampak lagi hingga acara showbiz selesai. Namun walau Bunda tidak ada, batinku tetap terguncang karena seumur hidup bari kali itu aku bertemu dengan orang mati yang hidup kembali.
Kusampaikan amanat Bunda kepada keluarganya. Setelah anak-anak Bunda sepakat, termasuk Erni, mantan istriku untuk membersihkan makam dan mengubur ulang, kami berangkat ke Tanjungpinang dari Jakarta. Bersama kami seorang ahli pengusir jin yang siap menyempurnakan pemakaman dan mengusir jin-jin jahat yang mengganggu arwah Bunda. Menurut si paranormal, jin-jin yang menghuni kuburan itu adalah jin yang suka mengganggu orang-orang mati agar arwahnya gentayangan.
“Jadi, arwah manusia yang gentayangan itu tidak selamanya orang jahat dan penghuni neraka yang ditolak alam barzah. Orang baik pun, bahkan ulama besar pun, bisa gentayangan arwahnya bila makamnya dihuni oleh jin-jin kafir yang jahat!” Jelas Ustadz Komarudin, ulama yang membersihakn makam Bunda.
Tahulah kami bahwa kasus arwah Bunda yang gentayangan, bukanlah gossip atau dongeng isapan jempol. Hal tersebut rupanya benar-benar nyata dan ada. Arwah Bunda benar-benar bergentayangan dan menjadi momok yang menakut-nakuti warga, termasuk aku, mantan menantunya.
Kami semua akhirnya percaya bahwa hal-hal gaib itu ada dan Allah terkadang menunjukkan seesuatu yang gaib itu dapat kasat mata dan berinteraksi dengan manusia yang hidup.
Comments
Post a Comment
tuliskan komentar anda untuk tanya jawab seputar ilmu di atas dan juga silakan menjawab komentar sedulur yang kira2 bisa menjawab isi komentar yang sudah ada.
terima kasih..