CUMBUAN SANG ARWAH
Penulis : ANDI AFRIZAL
Sayup-sayup kudengar tangis pilu yang menyayat hati. Semakin lama semakin mengusikku. Kulangkahkan kaki menuju sumber suara itu. Astagfirullah...siapakah gerangan gadis cantik berambut panjang sebahu itu...?
Tiga tahun menumpang hidup di rumah mertua, memaksaku harus berpikir keras. Berpikir bagaimana caranya agar aku mandiri, tidak selalu hidup di rumah mertua.
Ya, aku ingin segera membawa isteriku pindah, meski itu hanya di rumah kontrakan. Kendati keinginan itu pernah ditolak mentah-mentah oleh mertua, namun tekadku sudah bulat. Bagaimana pun aku tetap ngotot ingin mencari rumah kontrakkan.
Begitulah. Setelah berpikir soal rumah kontrakan, sebulan kemudian aku mendapatkan rumah yang kuinginkan. Rumah itu tidak terlalu bagus, namun cukup besar untuk ukuran keluarga kecil. Apalagi, kami belum memiliki seorang anak pun. Maka, tanpa pertimbangan yang macam-macam, rumah itu jadi kukontrak.
"Sebelum ditempati, kamu mesti mengadakan selamatan dulu, Nak. Itu sudah menjadi tradisi yang tidak boleh dilanggar," pesan mertuaku, wanti-wanti.
Memang tak salah jika mertuaku berpesan seperti itu. Soalnya, sejak aku belum resmi menikahi anaknya, aku dikenalnya sebagai menantu yang suka tak percaya dengan hal-hal di luar nalar. Begitu pula soal pesan selamatan itu.
"Insya Allah, Bu!" hanya itu jawabku waktu itu.
Seiring perkembangan waktu, tibalah saatnya aku mulai menempati rumah milik Pak Warno, yang dikontrakan kepada dengan harga relatif murah. Sepeninggal Pak Warno yang seorang duda, praktis rumah itu kosong. Tak pelak, karena dikosongkan selama lebih hampir dua tahun lamanya, keadaan rumahnya sangat kotor. Selain banyak terdapat sarang laba-laba, juga keadaan temboknya sudah banyak yang kusam dan mengelupas.
Niatku, sebelum aku menempati rumah itu, aku akan membersihkannya sendiri. Daripada memberikan uang kepada tukang untuk membersihkannya, mending kubersihkan sendiri saja. Sekalian ngirit, maksudku.
Begitulah, akhirnya pada hari Minggu aku mulai membersihkannya. Sejak pagi aku sudah berangkat ke sana. Dengan membawa peralatan seadanya, kubuka pintu pagarnya. Suara berderit mengiringi terbukanya pagar besi yang telah karatan. Sesaat aku sempat kaget ketika tiba-tiba saja terasa olehku hembusan angin sepoi-sepoi menerpa wajahku. Halus dan hangat kurasakan....
Aku terus melangkahkan kaki dan mulai membuka pintu rumah. Sama seperti ketika aku membuka pagar depan. Begitu pintu terbuka, suara derit seolah mengiringinya. Sepertinya, suara derit pintu itu berasal dari dari gesekan antar karat yang banyak terdapat di engsel daun pintu. Sejauh itu aku hanya berpikir, "Ya, beginilah kalau rumah dibiarkan lama dan tidak dirawat...."
Setalah berpikir seperti itu, hembusan angin kembali menerpa wajahku. Masih tetap seperti yang pertama. Halus dan hangat, kurasakan. Secara spontan aku langsung geleng-geleng kepala begitu tahu keadaan di dalamnya. Meski ada seperangkat kursi tamu yang lengkap, namun debu tebal yang menempel ibaratnya bisa ditanami jagung. Ah, sudahlah... toh bagaimana pun rumah ini jadi kukontrak. Jadi, apapun resikonya aku harus siap menerimanya.
Pertama aku membersihkan semua mebel dengan kain yang kubasahi dengan air. Setelah itu, barulah aku membersihkan temboknya. Satu persatu foto-foto yang terpampang kuturunkan. Mataku agak tertegun ketika hendak menurunkan sebuah foto seorang gadis dengan rambut panjangnya yang sebahu.
"Wuiiih, cantik sekali anak ini. Siapa, ya...? Apakah anak Pak Warno?" Pertanyaan itu terus mengusikku.
Aku pun terus melanjutkan pekerjaanku. Entah, sudah berapa batang rokok yang kuhisap sambil bersih-bersih. Aku juga tak ingat lagi, sudah berapa gelas akur aku minum, kuteguk untuk mengusir rasa haus yang mencekik tenggorokanku. Namun yang pasti, pada akhirnya aku kelelahan. Bisa jadi saking capeknya, secara tak sadar aku tertidur pulas di sofa ruang tamu yang telah kubersihkan itu.
Di saat tidur, antara sadar dan tidak telingaku mendengar suara seseorang mengetuk pintu. Tak hanya, bersamaan dengan ketukan itu aku juga mendengar suara seorang wanita yang memberi salam, "Assalamu'ailakum...!"
"Waalaikumsalam! Ya, silahkan masuk," ujarku membalas suara perempuan di depan pintu. Aku segera bergegas menuju ke arah suara. Begitu pintu kubuka, nampak seorang gadis belia berdiri di depan pintu.
Sesaat lamanya aku tertegun dibuatnya. Seolah tak percaya dengan pandangan mataku. Gadis itu, ya gadis itu..."Ah, cantik sekali!" Hanya itu yang mampu terucap pelan dari bibirku, yang seolah terasa terkunci.
Setelah kupersilahkan masuk, barulah gadis yang mengaku bernama Maharani itu mau masuk ke rumah. Langkah kakinya pelan namun serasi dan penuh wibawa. Sorot matanya sendu, seolah memancarkan kesedihan yang mendalam. Begitu memasuki ruang tamu, dia langsung menatap foto dirinya yang saat itu masih tergeletak di atas meja lantaran baru kubersihkan. Lama sekali dia menatap foto dirinya. Lalu, senyumnya mengembang sarat arti....
"Maafkan, foto itu terpaksa aku turunkan. Kukira kau tidak akan datang kemari," cetusku, coba menyelami perasaannya.
"Ah, mungkin memang foto ini sudah tak pantas menghiasi ruangan ini," ujarnya, getir.
Entah bagaimana mulanya, setelah agak lama mengobrol spontan tercipta suasana akrab di antara kami. Maharani tak lagi merasa sungkan untuk mengambil minuman di dapur. Dengan cekatan tangannya membuka laci kitchen set. Dari sana, diambilnya sebotol selai strawberry dan beberapa potong roti tawar. Lalu, secara perlahan dia mengoleskan selai itu di atas roti tawar.
Tak bisa kupungkiri. Selama berbincang dengan Maharani, terus terang, pikiranku mendadak jadi piktor (pikiran kotor-pen). Sempat pula kubayangkan, bagaimana enaknya bercumbu dengannya. Kulitnya yang putih bersih nampak terawat, dan kecantikan wajahnya sempat membuat jantungku bergetar, bergetar menahan gejolak nafsu....
"Hayo sedang berpikir apa? Aku tahu lo yang sedang Mas pikirkan," ujar Maharani yang secara spontan membuatku kaget.
Setelah mengatakan hal itu, tiba-tiba dia berdiri dan langsung menghampiriku. Yang lebih membuatku kaget, tanpa sungkan dan basa-basi dia langsung mendaratkan ciuman setelah duduk di pangkuanku. Seakan tidak memberiku kesempatan untuk bernafas, Maharani terus mencumbuku.
Untuk beberapa saat lamanya bibir kami saling berpagut. Lama hal itu kami lakukan. Aku sampai tak sadar ketika dengan halus tangan Maharani mulai membuka kancing baju dan celanaku. Pikiranku langsung bagikan melayang, terbang di awang-awang. Semua yang kurasakan terasa begitu indah. Kuakui, Maharani memang piawai dalam memainkan lidahnya.
Bisa jadi, hal itu pula yang membuatku semakin hanyut. Bahkan, secara jujur kuakui, aku semakin tak mampu mengendalikan diri ketika dengan beraninya Maharani menanggalkan semua kain yang membungkus tubuh mulusnya. Dan, astaga! "Maharani, Sayangku!" hanya itu yang mampu terucap dari bibirku.
Belum hilang rasa heran dan keterkejutanku, Maharani langsung menindih tubuhku. Setelah puas melumat bibirku, kini gilirannya menjilati sekujur tubuhku. Aku semakin tak bisa menguasai diri ketika jilatannya semakin berani. Dan, lagi-lagi aku hanya pasrah ketika dia membawaku ke alam nirwana. Bagai mendaki sebuah gunung yang tak pernah ada puncaknya, aku terus dibimbingnya...
Ketika nyaris mencapai puncak kenikmatan itu, tiba-tiba badanku terjatuh. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhku. Aku celingukan seperti orang tolol. Aku semakin malu ketika tiba-tiba kudengar suara isteriku, "Mas...Mas, sadar... kenapa sih...?"
Astaghfirullah...! Saat itu aku teramat sangat malu. Bagaimana tidak? Selain isteriku, bapak-ibu mertuaku juga melihatku dalam keadaaan bugil. Masih dengan menahan perasaan malu yang tak tergambarkan, aku mencoba meraih baju dan celanaku. Setelah diberi segelas air putih, barulah secara berangsur-angsur pikiranku kembali normal. Aku pun baru sadar kalau ternyata aku telah diajak bercinta oleh Maharani di alam nun jauh di sana. Ya, mungkin di alam gaib.
Menurut cerita para tetangga kanan-kiri rumah milik almarhum Pak Warno tersebut, Maharani adalah puteri tunggal saudagar kaya pada era tahun 70-an itu. Tanpa sebab yang jelas, gadis itu meninggal. Hal itu pulalah yang membuat isteri Pak Warno sedih hingga akhirnya meninggal. Tak pelak, Pak Warno pun mengalami kesedihan yang sama sama, sehingga memilih hidup sendiri, dan akhirnya pergi meninggalkan rumahnya setelah mengontrakkannya padaku. Karena meninggalnya tak jelas, maka diyakini arwah Maharani sering menampakkan diri. Bahkan, konon kabarnya dia suka menggangu, terutama kaum lelaki. Termasuk diriku? Ah, ada-ada saja...!
Sayup-sayup kudengar tangis pilu yang menyayat hati. Semakin lama semakin mengusikku. Kulangkahkan kaki menuju sumber suara itu. Astagfirullah...siapakah gerangan gadis cantik berambut panjang sebahu itu...?
Tiga tahun menumpang hidup di rumah mertua, memaksaku harus berpikir keras. Berpikir bagaimana caranya agar aku mandiri, tidak selalu hidup di rumah mertua.
Ya, aku ingin segera membawa isteriku pindah, meski itu hanya di rumah kontrakan. Kendati keinginan itu pernah ditolak mentah-mentah oleh mertua, namun tekadku sudah bulat. Bagaimana pun aku tetap ngotot ingin mencari rumah kontrakkan.
Begitulah. Setelah berpikir soal rumah kontrakan, sebulan kemudian aku mendapatkan rumah yang kuinginkan. Rumah itu tidak terlalu bagus, namun cukup besar untuk ukuran keluarga kecil. Apalagi, kami belum memiliki seorang anak pun. Maka, tanpa pertimbangan yang macam-macam, rumah itu jadi kukontrak.
"Sebelum ditempati, kamu mesti mengadakan selamatan dulu, Nak. Itu sudah menjadi tradisi yang tidak boleh dilanggar," pesan mertuaku, wanti-wanti.
Memang tak salah jika mertuaku berpesan seperti itu. Soalnya, sejak aku belum resmi menikahi anaknya, aku dikenalnya sebagai menantu yang suka tak percaya dengan hal-hal di luar nalar. Begitu pula soal pesan selamatan itu.
"Insya Allah, Bu!" hanya itu jawabku waktu itu.
Seiring perkembangan waktu, tibalah saatnya aku mulai menempati rumah milik Pak Warno, yang dikontrakan kepada dengan harga relatif murah. Sepeninggal Pak Warno yang seorang duda, praktis rumah itu kosong. Tak pelak, karena dikosongkan selama lebih hampir dua tahun lamanya, keadaan rumahnya sangat kotor. Selain banyak terdapat sarang laba-laba, juga keadaan temboknya sudah banyak yang kusam dan mengelupas.
Niatku, sebelum aku menempati rumah itu, aku akan membersihkannya sendiri. Daripada memberikan uang kepada tukang untuk membersihkannya, mending kubersihkan sendiri saja. Sekalian ngirit, maksudku.
Begitulah, akhirnya pada hari Minggu aku mulai membersihkannya. Sejak pagi aku sudah berangkat ke sana. Dengan membawa peralatan seadanya, kubuka pintu pagarnya. Suara berderit mengiringi terbukanya pagar besi yang telah karatan. Sesaat aku sempat kaget ketika tiba-tiba saja terasa olehku hembusan angin sepoi-sepoi menerpa wajahku. Halus dan hangat kurasakan....
Aku terus melangkahkan kaki dan mulai membuka pintu rumah. Sama seperti ketika aku membuka pagar depan. Begitu pintu terbuka, suara derit seolah mengiringinya. Sepertinya, suara derit pintu itu berasal dari dari gesekan antar karat yang banyak terdapat di engsel daun pintu. Sejauh itu aku hanya berpikir, "Ya, beginilah kalau rumah dibiarkan lama dan tidak dirawat...."
Setalah berpikir seperti itu, hembusan angin kembali menerpa wajahku. Masih tetap seperti yang pertama. Halus dan hangat, kurasakan. Secara spontan aku langsung geleng-geleng kepala begitu tahu keadaan di dalamnya. Meski ada seperangkat kursi tamu yang lengkap, namun debu tebal yang menempel ibaratnya bisa ditanami jagung. Ah, sudahlah... toh bagaimana pun rumah ini jadi kukontrak. Jadi, apapun resikonya aku harus siap menerimanya.
Pertama aku membersihkan semua mebel dengan kain yang kubasahi dengan air. Setelah itu, barulah aku membersihkan temboknya. Satu persatu foto-foto yang terpampang kuturunkan. Mataku agak tertegun ketika hendak menurunkan sebuah foto seorang gadis dengan rambut panjangnya yang sebahu.
"Wuiiih, cantik sekali anak ini. Siapa, ya...? Apakah anak Pak Warno?" Pertanyaan itu terus mengusikku.
Aku pun terus melanjutkan pekerjaanku. Entah, sudah berapa batang rokok yang kuhisap sambil bersih-bersih. Aku juga tak ingat lagi, sudah berapa gelas akur aku minum, kuteguk untuk mengusir rasa haus yang mencekik tenggorokanku. Namun yang pasti, pada akhirnya aku kelelahan. Bisa jadi saking capeknya, secara tak sadar aku tertidur pulas di sofa ruang tamu yang telah kubersihkan itu.
Di saat tidur, antara sadar dan tidak telingaku mendengar suara seseorang mengetuk pintu. Tak hanya, bersamaan dengan ketukan itu aku juga mendengar suara seorang wanita yang memberi salam, "Assalamu'ailakum...!"
"Waalaikumsalam! Ya, silahkan masuk," ujarku membalas suara perempuan di depan pintu. Aku segera bergegas menuju ke arah suara. Begitu pintu kubuka, nampak seorang gadis belia berdiri di depan pintu.
Sesaat lamanya aku tertegun dibuatnya. Seolah tak percaya dengan pandangan mataku. Gadis itu, ya gadis itu..."Ah, cantik sekali!" Hanya itu yang mampu terucap pelan dari bibirku, yang seolah terasa terkunci.
Setelah kupersilahkan masuk, barulah gadis yang mengaku bernama Maharani itu mau masuk ke rumah. Langkah kakinya pelan namun serasi dan penuh wibawa. Sorot matanya sendu, seolah memancarkan kesedihan yang mendalam. Begitu memasuki ruang tamu, dia langsung menatap foto dirinya yang saat itu masih tergeletak di atas meja lantaran baru kubersihkan. Lama sekali dia menatap foto dirinya. Lalu, senyumnya mengembang sarat arti....
"Maafkan, foto itu terpaksa aku turunkan. Kukira kau tidak akan datang kemari," cetusku, coba menyelami perasaannya.
"Ah, mungkin memang foto ini sudah tak pantas menghiasi ruangan ini," ujarnya, getir.
Entah bagaimana mulanya, setelah agak lama mengobrol spontan tercipta suasana akrab di antara kami. Maharani tak lagi merasa sungkan untuk mengambil minuman di dapur. Dengan cekatan tangannya membuka laci kitchen set. Dari sana, diambilnya sebotol selai strawberry dan beberapa potong roti tawar. Lalu, secara perlahan dia mengoleskan selai itu di atas roti tawar.
Tak bisa kupungkiri. Selama berbincang dengan Maharani, terus terang, pikiranku mendadak jadi piktor (pikiran kotor-pen). Sempat pula kubayangkan, bagaimana enaknya bercumbu dengannya. Kulitnya yang putih bersih nampak terawat, dan kecantikan wajahnya sempat membuat jantungku bergetar, bergetar menahan gejolak nafsu....
"Hayo sedang berpikir apa? Aku tahu lo yang sedang Mas pikirkan," ujar Maharani yang secara spontan membuatku kaget.
Setelah mengatakan hal itu, tiba-tiba dia berdiri dan langsung menghampiriku. Yang lebih membuatku kaget, tanpa sungkan dan basa-basi dia langsung mendaratkan ciuman setelah duduk di pangkuanku. Seakan tidak memberiku kesempatan untuk bernafas, Maharani terus mencumbuku.
Untuk beberapa saat lamanya bibir kami saling berpagut. Lama hal itu kami lakukan. Aku sampai tak sadar ketika dengan halus tangan Maharani mulai membuka kancing baju dan celanaku. Pikiranku langsung bagikan melayang, terbang di awang-awang. Semua yang kurasakan terasa begitu indah. Kuakui, Maharani memang piawai dalam memainkan lidahnya.
Bisa jadi, hal itu pula yang membuatku semakin hanyut. Bahkan, secara jujur kuakui, aku semakin tak mampu mengendalikan diri ketika dengan beraninya Maharani menanggalkan semua kain yang membungkus tubuh mulusnya. Dan, astaga! "Maharani, Sayangku!" hanya itu yang mampu terucap dari bibirku.
Belum hilang rasa heran dan keterkejutanku, Maharani langsung menindih tubuhku. Setelah puas melumat bibirku, kini gilirannya menjilati sekujur tubuhku. Aku semakin tak bisa menguasai diri ketika jilatannya semakin berani. Dan, lagi-lagi aku hanya pasrah ketika dia membawaku ke alam nirwana. Bagai mendaki sebuah gunung yang tak pernah ada puncaknya, aku terus dibimbingnya...
Ketika nyaris mencapai puncak kenikmatan itu, tiba-tiba badanku terjatuh. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhku. Aku celingukan seperti orang tolol. Aku semakin malu ketika tiba-tiba kudengar suara isteriku, "Mas...Mas, sadar... kenapa sih...?"
Astaghfirullah...! Saat itu aku teramat sangat malu. Bagaimana tidak? Selain isteriku, bapak-ibu mertuaku juga melihatku dalam keadaaan bugil. Masih dengan menahan perasaan malu yang tak tergambarkan, aku mencoba meraih baju dan celanaku. Setelah diberi segelas air putih, barulah secara berangsur-angsur pikiranku kembali normal. Aku pun baru sadar kalau ternyata aku telah diajak bercinta oleh Maharani di alam nun jauh di sana. Ya, mungkin di alam gaib.
Menurut cerita para tetangga kanan-kiri rumah milik almarhum Pak Warno tersebut, Maharani adalah puteri tunggal saudagar kaya pada era tahun 70-an itu. Tanpa sebab yang jelas, gadis itu meninggal. Hal itu pulalah yang membuat isteri Pak Warno sedih hingga akhirnya meninggal. Tak pelak, Pak Warno pun mengalami kesedihan yang sama sama, sehingga memilih hidup sendiri, dan akhirnya pergi meninggalkan rumahnya setelah mengontrakkannya padaku. Karena meninggalnya tak jelas, maka diyakini arwah Maharani sering menampakkan diri. Bahkan, konon kabarnya dia suka menggangu, terutama kaum lelaki. Termasuk diriku? Ah, ada-ada saja...!
Comments
Post a Comment
tuliskan komentar anda untuk tanya jawab seputar ilmu di atas dan juga silakan menjawab komentar sedulur yang kira2 bisa menjawab isi komentar yang sudah ada.
terima kasih..