ARWAH DUA SAHABAT MENUNTUN KE PINTU TOBAT
Penulis : IDUL FIETRI DAZ
Kedua arwah sahabatnya datang dan mengaku tak kuat lagi menahan siksa api neraka. Sebagai pemimpin geng, dia dituntut kedua arwah sahabatnya itu untuk membebaskan mereka dari siksaan. Bagaimana mungkin hal ini bisa dilakukannya. ..?
Memang benar kata orang bahwa jodoh, maut, dan rezeki merupakan hal yang misteri atau rahasia Tuhan kepada manusia. Misalnya saja, sekarang kita kaya, mungkin nanti jadi miskin. Hari ini jahat, mungkin besok-besok bisa jadi baik. Atau malah yang hari ini baik, besok berubah jadi penjahat. Demikian seterusnya. Semuanya berjalan mengikuti siklus yang ada. Siapa yang kuat, dialah yang dapat bertahan.
Demikian pula yang terjadi dengan sahabat karib saya. Sebut saja Ki Anom namanya (bukan nama asli). Semasa duduk dibangku SLTA, karib saya ini tergolong santri, dan sangat rajin menjalankan perintah agama. Tapi setelah merantau ke pulau Jawa, malah dia berubah menjadi berandal, pemabok dan pecandu narkoba.
Ki Anom sendirinya sebenarnya sebuah julukan pemberian saya kepadanya, yang ketika itu masih sama-sama duduk di bangku SLTA. Mengapa julukan yang nampaknya sacral ini saya berikan kepadanya? Karena ketika itu dia sangat suka memberikan nasehat atau petuah-petuah agama kepada saya atau teman yang lainnya, sehingga bagi saya sebutan Ki Anom itu memang sangat pantas baginya.
Waktu itu, keberangkatan Ki Anom ke Surabaya sebenarnya untuk menuntut ilmu ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Ya, dia mau kuliah di sebuah universitas yang sangat didambakannya. Namun karena gagal masuk ke perguruan tinggi idamannya, dia akhirnya dipaksa kuliah oleh orang tuanya di kampus yang menjadi pilihan mereka. Meski Ki Anom menolak, namun kedua orang tuanya tetap saja memintanya kuliah di sana.
Karen masuk dengan cara terpaksa, maka pantaslah kalau keberadaan Ki Anom di perguruan tinggi itu hanya berusia seumur jagung. Setelah drop out dari perguruan tinggi, dia nampaknya lebih tertarik kepada dunia kehidupan "semau gue" alias brokenhome. Dari sini, dia mulai mengenal bisnis barang haram yang menghasilkan banyak uang. Ketimbang pusing-pusing menghadapi pelajaran, dinoa kemudian membuatnya terlena.
Atas ajakan seorang temannya bernama Bony, akhirnya Ki Anom hengkang juga ke Jakarta. Karena Jakarta menurutnya punya potensi untuk mengembangkan usaha haramnya tadi.
Jakarta sebagai kota besar, tentu banyak menyimpan misteri kehidupan, dari kegiatan yang sifatnya baik-baik sampai yang palilng buruk pun ada. Karena lingkungan kota besar sangat memungkinkan bagi setiap orang untuk berbuat yang serba bebas.
Selama berdiam di Jakarta, gaya hidup Ki Anom mulai berubah. Dia sudah banyak bergaul dengan orang-orang berandal atau dunia kelam lainnya. Dunia kekerasan, miras maupun narkoba bukanlah barang yang asing lagi bagi dirinya.
Bahkan hidup dalam penjara pun pernah dia alami selama 2,5 tahun, karena kasus narkoba. Namun penjara ternyata bukannya membuat Ki Anom menjadi jera. Yang terjadi malah sebaliknya. Sekeluarnya dari penjara, Ki Anom berbuat yang lebih nekad lagi. Dia bukan saja sebagai pemakai dan pengedar, tapi juga berambisi menjadi agen atau pemasok narkoba.
Nampaknya, kian lama Ki Anom semakin berani menjalankan operasinya, dan semakin jauh pula kehidupannya dari jalan agama, yang semasa SMA dulu begitu fasih dikuasainya. Perilakunya semakin rusak dan sudah berputar 180 derajat dari kehidupannya dulu sebelum merantau ke Jakarta, dan terlibat dengan pergaulan yang keras.
Sampai pada suatu hari, terjadilah perkelahian antara geng yang dipimpin Ki Anom dengan anggota geng lainnya. Korban luka-luka berjatuhan, bahkan korban nyawa pun tidak bisa dihindari lagi. Untung saja ketika itu, Ki Anom bisa menyelamatkan diri walau dirinya juga mengalami luka ringan di tubuhnya.
Setelah perkelahian itu, polisipun berdatangan untuk mengevakuasi lokasi maupun orang-orang yang terlibat perkelahian tersebut. Sekali lagi Ki Anom terhindar dari kepungan petugas polisi, kendati ketika itu dia harus berjam-jam lamanya berada dalam genangan air selokan yang memuakkan.
Kedati polisi tak dapat menangkapnya, namun jati diri Ki Anom dan konco-konconya sudah diketahui polisi, dan polisi pun terus berupaya mencari dan mengejarnya. Karena gerak-geriknya di Jakarta sudah semakin sempit, akhirnya Ki Anom hengkang lagi ke kampung, guna menyelamatkan diri dari kejaran polisi.
Dasar Ki Anom, sekembalinya di kampong halaman pun lagi-lagi dia melakukan kegiatan seperti di Jakarta. Mabok miras atau narkoba itu sudah menjadi kebiasaannya tiap hari, yang sepertinya akan sulit untuk ditinggalkannya. Hampir tiap hari kerjanya mabuk-mabukkan, dan tak seorang pun yang bisa mencegahnya. Bila ada yang nekad mencegahnya, maka Ki Anom akan murka dan berjanji akan membunuhnya.
Hingga tibalah di suatu malam, Ki Anom dan teman-teman barunya di kampong halaman, berpesta mabok-mabokan di rumah kontrakan tempat persembunyian geng mereka. Begitu hebatnya mereka mabuk, sampai akhir tanpa sadar mereka semuanya lelap dalam tidurnya. Pada keesokan harinya sekitar pukul 11.15, baru Ki Anom mulai membuka matanya. Dia segera bangkit dari tidurnya, lalu duduk. Dia heran karena dilihatnya semua teman-temannya sudah tidak ada di tempat itu. Mungkin mereka semua sudah pergi, dan sengaja meninggalkannya seorang diri, sebab tak ada satupun yang berani membangunkan Ki Anom.
Dengan mata yang masih merah, dia melotot ke arah pintu. Anehnya, begitu ditatapnya, pintu itu mengeluarkan bunyi yang agak nyaring, seperti layaknya ada yang membukanya dari luar. Dan benar saja, pintu itu memang mulai terbuka. Mata Ki Anom terus memelototinya.
ìJangan-jangan polisi mau meringkusku!î begitu terlintas dalam benak Ki Anom.
Dua menit kemudian, sebuah gumpalan asap putih masuk lewat sela-sela pintu yang meregang tadi. Dan lama-lama asap itu membentuk semacam hantu pocong. Kesadaran Ki Anom sebenarnya belum pulih 100%, dan dengan agak sempoyongan dia berusaha mendekati pintu yang ada hantu pocongnya itu.
Belum lagi Ki Anom mencapai pintu itu, asap berupa hantu pocong tersebut mengeluarkan suara tangisnya yang mengiba-iba. Karuan saja Ki Anom mundur beberapa langkah dan duduk lagi di atas kasur.
Setelah menghela nafas keras beberapa kali, Ki Anom memberanikan diri lagi untuk mendekatinya, namun hantu pocong tersebut berteriak-teriak sambil mengaduh kesaktian dan akhirnya kembali berubah menjadi gumpalan api. Ki Anom tercengang melihat pemandangan yang.benar-benar aneh ini.
Setengah menit kemudian, asap tersebut segera menghilang. Ki Anom menjadi sangat kaget dan keheranan, dan karena pula dia menjadi sadar betul. Dengan pelan-pelan Dia mendekati dan meraba pintu itu. Namun tidak ada apa-apanya, pintu ya tetap pintu.
ìAh, barangkali aku hanya berhalusinasi?î pikir Ki Anom.
Suara adzan berkumandang dari sebuah masjid dekat rumah itu, bersamaan itu pula lamunan Ki Anom yang memikirkan kejadian aneh itu buyar. Dia pun berusaha mendekati jendela dan membukanya, seakan ingin lebih jelas lagi mendengarkan kalimat panggilan sholat bagi seorang muslim itu.
Dia lalu menggumam sendirian, ìMasyaa Allah, entah berapa lama sudah aku tidak melaksanakan sholat, dan entah berapa banyak pula kemaksiatan dan dosa yang sudah aku lakukan. Astagfirullah al adzim...!î
Mata memandang jauh dari lubang jendela kamarnya yang berada di tingkat atas. Dia seakan ingin melakukan kilas balik atas segala perbuatan maksiatnya yang berlumuran dosa itu. Tanpa terasa beberapa tetes air mata bening keluar dari kelopak matanya yang sudah tampak mencekung itu.
Waktu itu, Ki Anom seharian tidak keluar rumah. Dia hanya duduk-duduk di kamarnya sambil melamun dan merenungi nasibnya yang kini larut dalam dunia hitam. Bahkan makan pun tidak ada selera. Dia hanya merebus sebungkus mie instan untuk sekedar mengisi perutnya yang sejak tengah malam tadi tanpa diisi apapunm, kecuali hanya cairan alcohol yang seakan membakarnya.
Kendati titik-titik cahaya iman sudah mulai memasuki batinnya, namun Ki Anom belum terbuka lagi hatinya untuk mengerjakan shalat. Tapi setidaknya itu sudah merupakan tanda-tanda baginya untuk kembali ke jalan yang benar. Karena jiwanya masih sangat labil, bergejolak dan bahkan sedan ak, ketika mendengar suara tangis yang ternyata persis seperti tangisan hantu pocong tempo hari. Mata Ki Anom pun menoleh ke arah datangnya suara tangisan itu. Dan ternyata dia kembali melihat sebuah bayangan, atau persisnya asap putih yang berbentuk hantu pocong. Sosok aneh ini mengawang-awang di balik jendela berkaca naco yang belum tertutup gorden.
Kali ini pocong tersebut mengeluarkan kata-katanya, ìBos, tolong saya..Tolong Bos, tubuh saya dibakar api neraka.î
ìHe setan... siapa kamu? Pergi...pergi dari sini!?î bentak Ki Anom, gelagapan
ìJangan begitu dong, Bos. Saya Bony, teman Bos sendiri. Hanya kepada Bos saya berani meminta tolong untuk membekaskan saya dari api neraka yang terus mengepung saya,î ujar asap aneh berbentuk pocongan mayat itu.
Ki Anom terbelalak. Tubuhnya menggigil hebat, sampai sesaat kemudian hantu pocong yang mengaku bernama Bony tersebut terbakar api dan lenyap seketika. Ketika keadaan menjadi tenang, Ki Anom tersentak kaget mendengar pengakuan pocong yang menyebut dirinya sebagai Bony itu. Dia ingat, kalau Bony itu adalah teman akrabnya semasa di Jakarta, yang sering mabuk berduaan bersamaannya. Bahkan tak hanya itu, dia juga sering menikmati satu perempuan dengan Bony.
ìTapi kenapa bisa jadi begini?î Ki Anom menggumam sendirian. Sekujur tubuhnya masih merinding membayangkan kejadian yang baru saja dialaminya.
Malam itu, Ki Anom kembali tidak bisa tidur semalaman. Karenanya, pada pagi hari sekitar pukul 08.30 WIT, dia akhirnya tertidur pulas. Namun dalam tidurnya kali inipun arwah temannya itu terus menterornya dalam mimpi. Bahkan kali ini Bony dan Bondan datang secara bersamaan. Mereka adalah dua sahabat karib Ki Anom semasa di Jakarta. Beginilah kurang lebihnya percakapan Ki Anom dengan kedua temannya dalam mimpi.
ìKami datang berdua kesini minta tolong sama, Bos. Kami telah disiksa dan dibakar dalam kubur.î
ìBagaimana mungkin, aku tidak bisa menolong kalian. Aku tidak tahu bagaimana caranya.î
ìPokoknya Bos harus bisa, dan Bos harus bertanggungjawab. Kami jadi begini kan karena mengikuti ajakan dan perintahmu.î
ìPokoknya juga tidak bisa. Mana mungkin aku bisa menolong kalian!î
ìKalau begitu biar kami berdua yang akan membakarmu, Bos!î
ìJangan... jangan...! Tolong... tolong...tolong...!î
Ki Anom terbangun dari tidurnya, dan dilihatnya beberapa orang penghuni rumah yang ada di lantai bawah berada di dekatnya.
ìAda apa ini?î tanya Ki Anom, gelagapan..
ìBukankah tadi kamu yang berteriak minta tolong. Lantas kami datang dan kebetulan pintu kamarmu kamu tidak terkunci,î jawab seseorang.
ìOoo...begitu! Rupanya tadi aku mengigau. Aku minta maaf. Sekarang, pergilah kalian semua,î sahut Ki Anom sambil berusaha menyembunyikan kegelisahan hatinya..
Setelah orang-orang tadi keluar kamarnya, Ki Anom kembali bergumam sendirian. ìMasya Allah...Laaillahaillallah Muhammadarrasulullah. Apa sebenarnya yang telah terjadi dengan Bony dan Bodan?î
Dia lalu segera bangkit dari pembaringannya, dan duduk dilantai sambil bersandar di pinggir tempat tidur. Dia lagi-lagi melamun, dan mengingat kedua temannya, Bony dan Bondan di Jakarta.
ìApa mereka sudah meninggal?î gumamnya. ìPadahal seingatku, Bony dan Bondan juga selamat saat terjadi perkelahian di Jakarta. Bahkan mereka sempat melepaskan keberangkatanku tempo hari ke Lampung. Mungkin sesuatu yang tidak beres telah menimpa mereka.î
Dua malam kemudian arwah Bony dan Bondan datang lagi menerornya. Waktu itu, bertepatan dengan Ki Anom mendapat kabar dari temannya, bahwa barang-barang dari Aceh yang berupa daun ganja kering akan segera datang pada malam hari tersebut. Bahkan, transaksi akan segera dilakukan di tempat biasa kawanan mereka bertemu. Karenanya, malam itu Ki Anom dan dua pengawalnya segera berangkat dengan naik mobil menuju ke tempat transaksi. Suasana jalan agak sepi. Mungkin karena cuaca yang sedang gerimis. Kendati demikian, mobil yanhg mereka kendarai tetap melaju dengan kecepatan 120 Km/jam.
Setelah sekitar 15 menit perjalanan, di sebuah ruas jalan sepi, seketika Ki Anom menginjak rem mobilnya dengan keras, sehingga membuat arah mobil berbalik kembali.
ìApa apa, Bos?î Tanya salah seorang temannya yang tadi hampir saja terdorong jatuh dari jok.
ìAh....nggak ada apa-apa, cuma ngantuk saja!î sahut Ki Anom dengan wajah sedikit tegang.
ìPerlu aku gantikan nyetir, Bos?î usul temannya yang satu lagi.
ìEhm...nggak perlu, kan sudah dekat!î kata Ki Anom.
Mobilpun kembali melaju dengan cepat. Namun mendadak Ki Anom berteriak histeris, ìTidaaakkk...jangaaanÖ!?î
Untunglah dengan cepat temannya yang disamping ikut membantu mengendalikan stir, kalau tidak pasti sudah menabrak tiang listrik. Setelah keadaan mobil terkendali, Ki Anom segera menepikan mobilnya di dekat sebuah masjid.
Lalu, dengan gugup dia menyatakan bahwa dirinya tidak bisa ikut melanjutkan perjalanan dan melakukan rencana semula, dengan alasan selain ngantuk juga sedang tidak enak badan. Kali ini dia harus mempercayakan kepada dua temannya itu untuk melaksanakan tugas yang selama ini dia lakukan sendiri. Dan kedua temannya yang tidak tahu apa yang terjadi terhadap diri Ki Anom itupun setuju saja, tanpa curiga dan banyak tanya.
Setelah kedua temannya pergi untuk melanjutkan perjalanan, dengan langkah gontai, Ki Anom memasuki pekarangan masjid. Dia menuju kran air untuk membasuh mukanya yang tampak acak-acakan itu. Dia duduk melamun di teras masjid dengan pandangan hampa. Dalam pikirannya yang terbayang hanyalah wajah dua temannya yang di Jakarta, Bony dan Bondan, yang tadi tiba-tiba saja muncul dikaca depan mobil dan persis di hadapan Ki Anom. Saat itu, Ki Anom sempat melihat Bony dengan ganasnya menumpahkan bensin dari jerigen ke seluruh mobil yang dikendarinya. Sementara Bondan sudah bersiap-siap menyalakan korek apinya. Makanya Ki Anom berteriak histeris dan langsung mengerem mobilnya, sehingga terpelanting dan nyaris tidak terkendali lagi..
Hal ini tersebut memang tidak diceritakannya kepada kedua temannya yang sudah berangkat untuk transaksi ganja tadi. Dia takut kedua temannya itu akan menganggapnya naif dan penakut, sehingga kewibawaannya sebagai pemimpin geng jadi luntur.
Lamunan Ki Anom segera buyar setelah beberapa orang jama'ah dan imam Masjid datang untuk melaksanakan shalat Subuh. Dan Ki Anom pun ikut shalat mengikuti ajakan sang imam masjid tersebut.
Setelah kejadian demi kejadian yang beruntun menimpa Ki Anom, akhirnya dia berencana untuk secepatnya pergi ke Jakarta guna mengetahui keadaan sebenarnya yang menimpa Bony dan Bondan, teman akrabnya.
Ketika berada di Jakarta, Ki Anom segera merubah penampilannya. Dia berpakaian ala seorang ulama atau kyai, dengan maksud agar polisi tidak mengenalinya lagi. Ketimbang langsung ke rumah Bony atau Bondan, dia lebih memilih ke rumah Dodo yang juga salah seorang temannya. Menurut pertimbangan Ki Anom, rumah Dodo jauh lebih aman dari jangkauan polisi.
Ringkas cerita, setelah bertemu Dodo yang menyambutnya dengan penuh suka cita, akhiir Ki Anom tahu bahwa Bony dan Bondan mati ditembak polisi karena berusaha melarikan diri saat rumahnya digrebek petugas.
ìInnalillahi wa'inna lillahi rajiiun,î cetus Ki Anom dengan suara datar. Air matanya tak terasa jatuh menitik.
Ternyata firasat buruk Ki Anom menjadi kenyataan. Dan mungkin benar pula Bony dan Bondan tersiksa di alam kubur sana, karena dosa-dosanya sudah terlampau banyak, seperti halnya juga Ki Anom sendiri.
Semuanya itu berpangkal dari Ki Anom, karena dia yang mula-mula mengajak mereka bergabung dengan kegiatan haramnya. Sehingga pantaslah kalau arwah mereka bergentayaangan dan selalu menerornya.
Setelah memberikan sejumlah uang kepada Dodo, Ki Anom segera pamit untuk menuju Surabaya. ìJaga dirimu baik-baik dan sebaiknya kamu segera bertobat. Sebelum terlambaty,î katanya.
ìSaya menurut apa kata Bos saja!î sahut Dodo, pendek.
ìInsya Allah saya bertobat di Surabaya, dan akan mendalami ilmu agama pada seorang Kyai kenalan saya dulu,î ucap Ki Anom sambil berjalan menuju mobilnya.
Sesampainya di Surabaya, dia benar-benar mau bertobat. Pria yang sebelumnya gemar mabuk ini berubah sangat rajin belajar ilmu-ilmu agama pada seorang Kyai. Akhirnya, berkat kegigihannya menuntut ilmu agama, selama hampir 10 tahun, maka kini dia benar-benar sudah menjadi Ki Anom alias Kyai Anom, yang berarti Kyai muda.
Ki Anom sekarang sudah dikarunia seorang putera dan puteri yang manis-manis, hasil dari perkawinannya dengan Halimah, puteri dari guru ngajinya selama ini. Semoga kisah sejati yang dialaminya dapat memberi inspirasi bagi kita untuk menuju jalan kebaikan.
Kedua arwah sahabatnya datang dan mengaku tak kuat lagi menahan siksa api neraka. Sebagai pemimpin geng, dia dituntut kedua arwah sahabatnya itu untuk membebaskan mereka dari siksaan. Bagaimana mungkin hal ini bisa dilakukannya. ..?
Memang benar kata orang bahwa jodoh, maut, dan rezeki merupakan hal yang misteri atau rahasia Tuhan kepada manusia. Misalnya saja, sekarang kita kaya, mungkin nanti jadi miskin. Hari ini jahat, mungkin besok-besok bisa jadi baik. Atau malah yang hari ini baik, besok berubah jadi penjahat. Demikian seterusnya. Semuanya berjalan mengikuti siklus yang ada. Siapa yang kuat, dialah yang dapat bertahan.
Demikian pula yang terjadi dengan sahabat karib saya. Sebut saja Ki Anom namanya (bukan nama asli). Semasa duduk dibangku SLTA, karib saya ini tergolong santri, dan sangat rajin menjalankan perintah agama. Tapi setelah merantau ke pulau Jawa, malah dia berubah menjadi berandal, pemabok dan pecandu narkoba.
Ki Anom sendirinya sebenarnya sebuah julukan pemberian saya kepadanya, yang ketika itu masih sama-sama duduk di bangku SLTA. Mengapa julukan yang nampaknya sacral ini saya berikan kepadanya? Karena ketika itu dia sangat suka memberikan nasehat atau petuah-petuah agama kepada saya atau teman yang lainnya, sehingga bagi saya sebutan Ki Anom itu memang sangat pantas baginya.
Waktu itu, keberangkatan Ki Anom ke Surabaya sebenarnya untuk menuntut ilmu ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Ya, dia mau kuliah di sebuah universitas yang sangat didambakannya. Namun karena gagal masuk ke perguruan tinggi idamannya, dia akhirnya dipaksa kuliah oleh orang tuanya di kampus yang menjadi pilihan mereka. Meski Ki Anom menolak, namun kedua orang tuanya tetap saja memintanya kuliah di sana.
Karen masuk dengan cara terpaksa, maka pantaslah kalau keberadaan Ki Anom di perguruan tinggi itu hanya berusia seumur jagung. Setelah drop out dari perguruan tinggi, dia nampaknya lebih tertarik kepada dunia kehidupan "semau gue" alias brokenhome. Dari sini, dia mulai mengenal bisnis barang haram yang menghasilkan banyak uang. Ketimbang pusing-pusing menghadapi pelajaran, dinoa kemudian membuatnya terlena.
Atas ajakan seorang temannya bernama Bony, akhirnya Ki Anom hengkang juga ke Jakarta. Karena Jakarta menurutnya punya potensi untuk mengembangkan usaha haramnya tadi.
Jakarta sebagai kota besar, tentu banyak menyimpan misteri kehidupan, dari kegiatan yang sifatnya baik-baik sampai yang palilng buruk pun ada. Karena lingkungan kota besar sangat memungkinkan bagi setiap orang untuk berbuat yang serba bebas.
Selama berdiam di Jakarta, gaya hidup Ki Anom mulai berubah. Dia sudah banyak bergaul dengan orang-orang berandal atau dunia kelam lainnya. Dunia kekerasan, miras maupun narkoba bukanlah barang yang asing lagi bagi dirinya.
Bahkan hidup dalam penjara pun pernah dia alami selama 2,5 tahun, karena kasus narkoba. Namun penjara ternyata bukannya membuat Ki Anom menjadi jera. Yang terjadi malah sebaliknya. Sekeluarnya dari penjara, Ki Anom berbuat yang lebih nekad lagi. Dia bukan saja sebagai pemakai dan pengedar, tapi juga berambisi menjadi agen atau pemasok narkoba.
Nampaknya, kian lama Ki Anom semakin berani menjalankan operasinya, dan semakin jauh pula kehidupannya dari jalan agama, yang semasa SMA dulu begitu fasih dikuasainya. Perilakunya semakin rusak dan sudah berputar 180 derajat dari kehidupannya dulu sebelum merantau ke Jakarta, dan terlibat dengan pergaulan yang keras.
Sampai pada suatu hari, terjadilah perkelahian antara geng yang dipimpin Ki Anom dengan anggota geng lainnya. Korban luka-luka berjatuhan, bahkan korban nyawa pun tidak bisa dihindari lagi. Untung saja ketika itu, Ki Anom bisa menyelamatkan diri walau dirinya juga mengalami luka ringan di tubuhnya.
Setelah perkelahian itu, polisipun berdatangan untuk mengevakuasi lokasi maupun orang-orang yang terlibat perkelahian tersebut. Sekali lagi Ki Anom terhindar dari kepungan petugas polisi, kendati ketika itu dia harus berjam-jam lamanya berada dalam genangan air selokan yang memuakkan.
Kedati polisi tak dapat menangkapnya, namun jati diri Ki Anom dan konco-konconya sudah diketahui polisi, dan polisi pun terus berupaya mencari dan mengejarnya. Karena gerak-geriknya di Jakarta sudah semakin sempit, akhirnya Ki Anom hengkang lagi ke kampung, guna menyelamatkan diri dari kejaran polisi.
Dasar Ki Anom, sekembalinya di kampong halaman pun lagi-lagi dia melakukan kegiatan seperti di Jakarta. Mabok miras atau narkoba itu sudah menjadi kebiasaannya tiap hari, yang sepertinya akan sulit untuk ditinggalkannya. Hampir tiap hari kerjanya mabuk-mabukkan, dan tak seorang pun yang bisa mencegahnya. Bila ada yang nekad mencegahnya, maka Ki Anom akan murka dan berjanji akan membunuhnya.
Hingga tibalah di suatu malam, Ki Anom dan teman-teman barunya di kampong halaman, berpesta mabok-mabokan di rumah kontrakan tempat persembunyian geng mereka. Begitu hebatnya mereka mabuk, sampai akhir tanpa sadar mereka semuanya lelap dalam tidurnya. Pada keesokan harinya sekitar pukul 11.15, baru Ki Anom mulai membuka matanya. Dia segera bangkit dari tidurnya, lalu duduk. Dia heran karena dilihatnya semua teman-temannya sudah tidak ada di tempat itu. Mungkin mereka semua sudah pergi, dan sengaja meninggalkannya seorang diri, sebab tak ada satupun yang berani membangunkan Ki Anom.
Dengan mata yang masih merah, dia melotot ke arah pintu. Anehnya, begitu ditatapnya, pintu itu mengeluarkan bunyi yang agak nyaring, seperti layaknya ada yang membukanya dari luar. Dan benar saja, pintu itu memang mulai terbuka. Mata Ki Anom terus memelototinya.
ìJangan-jangan polisi mau meringkusku!î begitu terlintas dalam benak Ki Anom.
Dua menit kemudian, sebuah gumpalan asap putih masuk lewat sela-sela pintu yang meregang tadi. Dan lama-lama asap itu membentuk semacam hantu pocong. Kesadaran Ki Anom sebenarnya belum pulih 100%, dan dengan agak sempoyongan dia berusaha mendekati pintu yang ada hantu pocongnya itu.
Belum lagi Ki Anom mencapai pintu itu, asap berupa hantu pocong tersebut mengeluarkan suara tangisnya yang mengiba-iba. Karuan saja Ki Anom mundur beberapa langkah dan duduk lagi di atas kasur.
Setelah menghela nafas keras beberapa kali, Ki Anom memberanikan diri lagi untuk mendekatinya, namun hantu pocong tersebut berteriak-teriak sambil mengaduh kesaktian dan akhirnya kembali berubah menjadi gumpalan api. Ki Anom tercengang melihat pemandangan yang.benar-benar aneh ini.
Setengah menit kemudian, asap tersebut segera menghilang. Ki Anom menjadi sangat kaget dan keheranan, dan karena pula dia menjadi sadar betul. Dengan pelan-pelan Dia mendekati dan meraba pintu itu. Namun tidak ada apa-apanya, pintu ya tetap pintu.
ìAh, barangkali aku hanya berhalusinasi?î pikir Ki Anom.
Suara adzan berkumandang dari sebuah masjid dekat rumah itu, bersamaan itu pula lamunan Ki Anom yang memikirkan kejadian aneh itu buyar. Dia pun berusaha mendekati jendela dan membukanya, seakan ingin lebih jelas lagi mendengarkan kalimat panggilan sholat bagi seorang muslim itu.
Dia lalu menggumam sendirian, ìMasyaa Allah, entah berapa lama sudah aku tidak melaksanakan sholat, dan entah berapa banyak pula kemaksiatan dan dosa yang sudah aku lakukan. Astagfirullah al adzim...!î
Mata memandang jauh dari lubang jendela kamarnya yang berada di tingkat atas. Dia seakan ingin melakukan kilas balik atas segala perbuatan maksiatnya yang berlumuran dosa itu. Tanpa terasa beberapa tetes air mata bening keluar dari kelopak matanya yang sudah tampak mencekung itu.
Waktu itu, Ki Anom seharian tidak keluar rumah. Dia hanya duduk-duduk di kamarnya sambil melamun dan merenungi nasibnya yang kini larut dalam dunia hitam. Bahkan makan pun tidak ada selera. Dia hanya merebus sebungkus mie instan untuk sekedar mengisi perutnya yang sejak tengah malam tadi tanpa diisi apapunm, kecuali hanya cairan alcohol yang seakan membakarnya.
Kendati titik-titik cahaya iman sudah mulai memasuki batinnya, namun Ki Anom belum terbuka lagi hatinya untuk mengerjakan shalat. Tapi setidaknya itu sudah merupakan tanda-tanda baginya untuk kembali ke jalan yang benar. Karena jiwanya masih sangat labil, bergejolak dan bahkan sedan ak, ketika mendengar suara tangis yang ternyata persis seperti tangisan hantu pocong tempo hari. Mata Ki Anom pun menoleh ke arah datangnya suara tangisan itu. Dan ternyata dia kembali melihat sebuah bayangan, atau persisnya asap putih yang berbentuk hantu pocong. Sosok aneh ini mengawang-awang di balik jendela berkaca naco yang belum tertutup gorden.
Kali ini pocong tersebut mengeluarkan kata-katanya, ìBos, tolong saya..Tolong Bos, tubuh saya dibakar api neraka.î
ìHe setan... siapa kamu? Pergi...pergi dari sini!?î bentak Ki Anom, gelagapan
ìJangan begitu dong, Bos. Saya Bony, teman Bos sendiri. Hanya kepada Bos saya berani meminta tolong untuk membekaskan saya dari api neraka yang terus mengepung saya,î ujar asap aneh berbentuk pocongan mayat itu.
Ki Anom terbelalak. Tubuhnya menggigil hebat, sampai sesaat kemudian hantu pocong yang mengaku bernama Bony tersebut terbakar api dan lenyap seketika. Ketika keadaan menjadi tenang, Ki Anom tersentak kaget mendengar pengakuan pocong yang menyebut dirinya sebagai Bony itu. Dia ingat, kalau Bony itu adalah teman akrabnya semasa di Jakarta, yang sering mabuk berduaan bersamaannya. Bahkan tak hanya itu, dia juga sering menikmati satu perempuan dengan Bony.
ìTapi kenapa bisa jadi begini?î Ki Anom menggumam sendirian. Sekujur tubuhnya masih merinding membayangkan kejadian yang baru saja dialaminya.
Malam itu, Ki Anom kembali tidak bisa tidur semalaman. Karenanya, pada pagi hari sekitar pukul 08.30 WIT, dia akhirnya tertidur pulas. Namun dalam tidurnya kali inipun arwah temannya itu terus menterornya dalam mimpi. Bahkan kali ini Bony dan Bondan datang secara bersamaan. Mereka adalah dua sahabat karib Ki Anom semasa di Jakarta. Beginilah kurang lebihnya percakapan Ki Anom dengan kedua temannya dalam mimpi.
ìKami datang berdua kesini minta tolong sama, Bos. Kami telah disiksa dan dibakar dalam kubur.î
ìBagaimana mungkin, aku tidak bisa menolong kalian. Aku tidak tahu bagaimana caranya.î
ìPokoknya Bos harus bisa, dan Bos harus bertanggungjawab. Kami jadi begini kan karena mengikuti ajakan dan perintahmu.î
ìPokoknya juga tidak bisa. Mana mungkin aku bisa menolong kalian!î
ìKalau begitu biar kami berdua yang akan membakarmu, Bos!î
ìJangan... jangan...! Tolong... tolong...tolong...!î
Ki Anom terbangun dari tidurnya, dan dilihatnya beberapa orang penghuni rumah yang ada di lantai bawah berada di dekatnya.
ìAda apa ini?î tanya Ki Anom, gelagapan..
ìBukankah tadi kamu yang berteriak minta tolong. Lantas kami datang dan kebetulan pintu kamarmu kamu tidak terkunci,î jawab seseorang.
ìOoo...begitu! Rupanya tadi aku mengigau. Aku minta maaf. Sekarang, pergilah kalian semua,î sahut Ki Anom sambil berusaha menyembunyikan kegelisahan hatinya..
Setelah orang-orang tadi keluar kamarnya, Ki Anom kembali bergumam sendirian. ìMasya Allah...Laaillahaillallah Muhammadarrasulullah. Apa sebenarnya yang telah terjadi dengan Bony dan Bodan?î
Dia lalu segera bangkit dari pembaringannya, dan duduk dilantai sambil bersandar di pinggir tempat tidur. Dia lagi-lagi melamun, dan mengingat kedua temannya, Bony dan Bondan di Jakarta.
ìApa mereka sudah meninggal?î gumamnya. ìPadahal seingatku, Bony dan Bondan juga selamat saat terjadi perkelahian di Jakarta. Bahkan mereka sempat melepaskan keberangkatanku tempo hari ke Lampung. Mungkin sesuatu yang tidak beres telah menimpa mereka.î
Dua malam kemudian arwah Bony dan Bondan datang lagi menerornya. Waktu itu, bertepatan dengan Ki Anom mendapat kabar dari temannya, bahwa barang-barang dari Aceh yang berupa daun ganja kering akan segera datang pada malam hari tersebut. Bahkan, transaksi akan segera dilakukan di tempat biasa kawanan mereka bertemu. Karenanya, malam itu Ki Anom dan dua pengawalnya segera berangkat dengan naik mobil menuju ke tempat transaksi. Suasana jalan agak sepi. Mungkin karena cuaca yang sedang gerimis. Kendati demikian, mobil yanhg mereka kendarai tetap melaju dengan kecepatan 120 Km/jam.
Setelah sekitar 15 menit perjalanan, di sebuah ruas jalan sepi, seketika Ki Anom menginjak rem mobilnya dengan keras, sehingga membuat arah mobil berbalik kembali.
ìApa apa, Bos?î Tanya salah seorang temannya yang tadi hampir saja terdorong jatuh dari jok.
ìAh....nggak ada apa-apa, cuma ngantuk saja!î sahut Ki Anom dengan wajah sedikit tegang.
ìPerlu aku gantikan nyetir, Bos?î usul temannya yang satu lagi.
ìEhm...nggak perlu, kan sudah dekat!î kata Ki Anom.
Mobilpun kembali melaju dengan cepat. Namun mendadak Ki Anom berteriak histeris, ìTidaaakkk...jangaaanÖ!?î
Untunglah dengan cepat temannya yang disamping ikut membantu mengendalikan stir, kalau tidak pasti sudah menabrak tiang listrik. Setelah keadaan mobil terkendali, Ki Anom segera menepikan mobilnya di dekat sebuah masjid.
Lalu, dengan gugup dia menyatakan bahwa dirinya tidak bisa ikut melanjutkan perjalanan dan melakukan rencana semula, dengan alasan selain ngantuk juga sedang tidak enak badan. Kali ini dia harus mempercayakan kepada dua temannya itu untuk melaksanakan tugas yang selama ini dia lakukan sendiri. Dan kedua temannya yang tidak tahu apa yang terjadi terhadap diri Ki Anom itupun setuju saja, tanpa curiga dan banyak tanya.
Setelah kedua temannya pergi untuk melanjutkan perjalanan, dengan langkah gontai, Ki Anom memasuki pekarangan masjid. Dia menuju kran air untuk membasuh mukanya yang tampak acak-acakan itu. Dia duduk melamun di teras masjid dengan pandangan hampa. Dalam pikirannya yang terbayang hanyalah wajah dua temannya yang di Jakarta, Bony dan Bondan, yang tadi tiba-tiba saja muncul dikaca depan mobil dan persis di hadapan Ki Anom. Saat itu, Ki Anom sempat melihat Bony dengan ganasnya menumpahkan bensin dari jerigen ke seluruh mobil yang dikendarinya. Sementara Bondan sudah bersiap-siap menyalakan korek apinya. Makanya Ki Anom berteriak histeris dan langsung mengerem mobilnya, sehingga terpelanting dan nyaris tidak terkendali lagi..
Hal ini tersebut memang tidak diceritakannya kepada kedua temannya yang sudah berangkat untuk transaksi ganja tadi. Dia takut kedua temannya itu akan menganggapnya naif dan penakut, sehingga kewibawaannya sebagai pemimpin geng jadi luntur.
Lamunan Ki Anom segera buyar setelah beberapa orang jama'ah dan imam Masjid datang untuk melaksanakan shalat Subuh. Dan Ki Anom pun ikut shalat mengikuti ajakan sang imam masjid tersebut.
Setelah kejadian demi kejadian yang beruntun menimpa Ki Anom, akhirnya dia berencana untuk secepatnya pergi ke Jakarta guna mengetahui keadaan sebenarnya yang menimpa Bony dan Bondan, teman akrabnya.
Ketika berada di Jakarta, Ki Anom segera merubah penampilannya. Dia berpakaian ala seorang ulama atau kyai, dengan maksud agar polisi tidak mengenalinya lagi. Ketimbang langsung ke rumah Bony atau Bondan, dia lebih memilih ke rumah Dodo yang juga salah seorang temannya. Menurut pertimbangan Ki Anom, rumah Dodo jauh lebih aman dari jangkauan polisi.
Ringkas cerita, setelah bertemu Dodo yang menyambutnya dengan penuh suka cita, akhiir Ki Anom tahu bahwa Bony dan Bondan mati ditembak polisi karena berusaha melarikan diri saat rumahnya digrebek petugas.
ìInnalillahi wa'inna lillahi rajiiun,î cetus Ki Anom dengan suara datar. Air matanya tak terasa jatuh menitik.
Ternyata firasat buruk Ki Anom menjadi kenyataan. Dan mungkin benar pula Bony dan Bondan tersiksa di alam kubur sana, karena dosa-dosanya sudah terlampau banyak, seperti halnya juga Ki Anom sendiri.
Semuanya itu berpangkal dari Ki Anom, karena dia yang mula-mula mengajak mereka bergabung dengan kegiatan haramnya. Sehingga pantaslah kalau arwah mereka bergentayaangan dan selalu menerornya.
Setelah memberikan sejumlah uang kepada Dodo, Ki Anom segera pamit untuk menuju Surabaya. ìJaga dirimu baik-baik dan sebaiknya kamu segera bertobat. Sebelum terlambaty,î katanya.
ìSaya menurut apa kata Bos saja!î sahut Dodo, pendek.
ìInsya Allah saya bertobat di Surabaya, dan akan mendalami ilmu agama pada seorang Kyai kenalan saya dulu,î ucap Ki Anom sambil berjalan menuju mobilnya.
Sesampainya di Surabaya, dia benar-benar mau bertobat. Pria yang sebelumnya gemar mabuk ini berubah sangat rajin belajar ilmu-ilmu agama pada seorang Kyai. Akhirnya, berkat kegigihannya menuntut ilmu agama, selama hampir 10 tahun, maka kini dia benar-benar sudah menjadi Ki Anom alias Kyai Anom, yang berarti Kyai muda.
Ki Anom sekarang sudah dikarunia seorang putera dan puteri yang manis-manis, hasil dari perkawinannya dengan Halimah, puteri dari guru ngajinya selama ini. Semoga kisah sejati yang dialaminya dapat memberi inspirasi bagi kita untuk menuju jalan kebaikan.
Comments
Post a Comment
tuliskan komentar anda untuk tanya jawab seputar ilmu di atas dan juga silakan menjawab komentar sedulur yang kira2 bisa menjawab isi komentar yang sudah ada.
terima kasih..