AJI GINENG
Bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat menghargai ataupun menghormati jasa-jasa para pendahulunya, demikian kata pepatah. Agaknya, pepatah tersebut di atas seolah tak pernah lekang dimakan zaman, buktinya, belakangan ini banyak kalangan muda yang mulai melirik berbagai ilmu-ilmu tua warisan leluhur di dalam menjalani dharma hidupnya di dunia. Seiring dengan situasi keamanan yang “tidak menentu”, di mana kejahatan dengan kekerasan kian hari terasa kian meningkat, maka salah satu jenis ilmu yang tergolong digandrungi oleh kawula muda adalah kadigdayaan.
Pada masa silam, Bekel Mada yang pada akhirnya dikenal dengan sebutan Mahapatih Gajah Mada dan merupakan murid kinasih Bhgawan Amongraga menerima warah berupa ajian sakti Aji Gineng yang konon juga dikuasai dengan sempurna oleh Satria Panegak Pandawa, Bimasena. — konon, ajian ini diterima langsung dari sang ayah yang begitu mencintainya, Dewa Bayu.
Khasiat dari ajian yang satu ini adalah, tubuh menjadi kuat sentosa serta kebal terhadap serangan senjata tajam. Jadi bukan tidak mungkin, di samping memiliki ajian-ajian yang lain, ajian ini juga merupakan salah satu andalan sang Mahapatih dari kerajaan Majapahit. Kita dapat membayangkan, dengan segala keberanian serta ketegarannya, Mahapatih Gajah Mada di dampingi Empu Nala yang merupakan Panglima Angkatan Laut beserta dengan ribuan prajurit lainnya mengarungi lautan dan menjelajahi daratan untuk menaklukkan negeri-negeri tetangganya. Bahkan sampai ke Madagaskar. Pada saat inilah keampuhan Aji Gineng berhasil dibuktikan oleh Mahapatih Gajah Mada. Ia berhasil mempersatukan nusantara di bawah panji-panji Gula Kelapa yang merupakan kebesaran dari Wilwatikta.
Jika diperhatikan dengan saksama, maka khasiat dari ajian ini setara dengan aji Pancasona. Betapa tidak, selagi tubuh yang menguasai ilmu ini masih tersentuh oleh empat unsur, yakni api, air, udara dan tanah, maka ia takkan dapat pralaya. Walau tujuannya baik, tetapi entah kenapa, tak banyak orang yang berminat untuk mengkaji ataupun mendalami Aji Gineng. Mungkin hal ini disebabkan, si penghayat dilarang keras melanggar tatanan keluarga, masyarakat, negara dan agama yang dianutnya — di samping sepanjang hidupnya ia tak boleh berbohong walau sekalipun. Jika dilanggar, maka si penghayat harus memulai ritual (puasa) lagi agar kadar ilmu tersebut tidak berkurang.
Entah sejak kapan, yang jelas, seiring dengan perubahan zaman maka mantera dari Aji Gineng yang semula berbahasa Jawa Kuna bergeser ke Jawa Tengahan dan mulai dimasuki oleh unsur Islam (kalangan sepuh menyatakan sebagai gaya Sunan Kalijaga). Walau keampuhannya tak berkurang sama sekali.
Adapun ritual untuk menguasai ajian ini adalah:
* Mandi keramas dengan bunga tujuh macam di mana airnya diambil dari tujuh sumur.
* Puasa mutih tujuh hari tujuh malam, dan dilanjutkan dengan ngebleng tiga hari tiga malam.
* Pada waktu menjalankan puasa, tiap pukul 00.00 mantera dibaca sebanyak empat puluh satu kali.
* Pada pelaksanaannya, mantera cukup dibaca sekali pada pukul 06.00 dan pukul 18.00.
Adapun mantera yang harus dihafalkan adalah:
Heh, ya aku teguh sing makrifat,
rineksa dening Allah,
kinemulan para Nabi,
pinayungan para Wali,
tan ana braja kang tumama,
Ya Chu Hak, Ya Chu Hak, Ya Chu Hak.
Demikian sekelumit tentang ilmu kadigdayaan, yang merupakan warisan para leluhur bangsa, semoga bermanfaat bagi para pembaca serta dapat menambah wawasan kita semua.
AKU HERAN. Kalau Mahapatih Gajah Mada merupakan murid kinasih Bhgawan Amongraga yg menerima warah berupa ajian sakti Aji Gineng yang konon juga dikuasai dengan sempurna oleh Satria Panegak Pandawa, Bimasena. — dan konon, ajian ini diterima langsung dari sang ayah yang begitu mencintainya, Dewa Bayu. Bukankah mereka mereka itu adalah unsur unsur Hindu, tetapi kenapa manteranya dg kata kata yg sebagian berasal dari Arab? Jangan jangan mantera ini rekayasa....boong boongan deh.....
ReplyDeleteItu versi sunan kalijogo gan...
ReplyDelete.barangkali dia ga punya yg versi jawa tulen....