BATARA KARANG NYARIS MEMBUNUHKU
Penulis : R. Wahyudi Santoso
Tiba-tiba sebuah sinar biru melesat dari dasar liang. Kulihat jelas seperti mata harimau, berputar-putar dan beberapa kali menyerangku.....
Kuburan itu tidak terkesan angker atau menyeramkan. Lokasinya berada di luar areal TPU seluas lebih kurang dua hektar, di atas bukit Cikundul, Cikalong Wetan, Cianjur, Jawa Barat. Namun, dalam situasi hujan badai di tengah malam, kondisinya menjadi sangat berbeda sekali dibanding siang hari ketika kami melakukan riset untk sebuah hasrat.
Dahan kamboja putih yang meliuk ke kanan dan ke kiri mengiktui irama angin diantara petir yang terus meyambar, seolah berubah laksana tangan-tangan hantu gentayangan. Menggapai-gapai seperti hendak mencekik. Tapi sesekali dahan yang terlihat selintas dalam kilatan petir itu seperti menggapai minta pertolongan. Tak ubahnya arwah manusia yang minta disempurnakan, sehingga mendapat tempat layak di alam kelanggengan.
"Gimana kang, bisa dimulai?" Giman minta pendapat kang Narma.
"Sebentar, saya mau cek sekali lagi," jawab Narma. Kemudian ia memejamkan mata, mengangkat kedua tangannya sebagaimana layaknya berdoa.
Mulutnya komat-kamit merapal mantera-mantera yang sudah disiapkan sebelum melakukan perburuan edan ini. Kenapa kusebut perburuan edan? Karena malam ini kami akan membongkar kuburan seseorang. Aku tidak tahu jenazah siapa yang ditanam di situ. Aku pun tidak tahu apakah mayat tersebut masih utuh terbungkus kain kafan atau sudah menjadi tengkorak. Begitu pula apa yang akan terjadi selanjutnya, apakah mayat itu akan diam saja seperti gedebong pisang, atau melakukan perlawanan karena tempat tinggalnya telah kami bongkar tanpa santun. Bagiku ketika itu, apa yang akan terjadi, terjadilah. Yang penting misi ini harus sukses! Begitu target kami bertiga.
Atas perintah Narma, penggalian pun dimulai. Giman mengayun cangkul, sementara Narma menyambutnya dengan sekop. Aku berdiri pada posisi yang lebih tinggi. Ini sengaja kulakukan demikian atas kesepakatan kami bertiga agar aku dapat melihat lebih leluasa bila ada sesuatu hal yang tidak kami kehendaki, entah dari manusia maupun dari makhluk gaib sebangsa jin, setan dan genderuwo. Sebab, bukan mustahil pekerjaan kami sudah sejak tadi diawasi oleh puluhan pasang mata.
Satu jam berselang, penggalian dihentikan sementara. Juga atas perintah Narma. Aku melihat liang itu telah menganga lebar, sesosok tubuh putih terbaring di dasar sana, basah disiram hujan. Spontan, kewaspadaanku makin kutingkatkan, karena aku yakin akan terjadi sesuatu.
Dulu, sewaktu aku masih di Pondok Pesantren, Kyai Hasbullah pernah berpesan wanti-wanti. "Untuk tujuan apa pun, jangan sekali-kali berbuat nekad dengan gegabah membongkar kuburan seseorang kalau kamu tidak siap bertarung melawan arwah yang bangkit dari liang kubur itu. Kecuali apabila kamu sudah betul-betul menguasai ilmunya. Ingat itu baik-baik, Yu." Begitu peringatan Kyai yang masih terngiang di telingaku.
Pesan itu ternyata menjadi kenyataan. Mayat itu benar-benar bangkit dari tidur panjanganya. Ia berdiri dengan sikap menantang, lalu berkata dengan suara lantang. Suara perempuan tua. "Kenapa kalian berani membongkar rumah saya dan mengganggu tidur saya, ha! Apa yang kalian cari di sini? Ini rumahku. Sudah puluhan tahun aku disini. Jadi, Jangan coba-coba mengusikku, apalagi berani mengusirku dari rumahku sendiri. Kalian dengar itu?!"
Narma dan Giman serentak mundur beberapa langkah, bersiaga penuh. Aku malah maju mendekati mereka dengan sebatang bambu kuning runcing. Ujung linggis Narma siap diarahkan ke jantung si mayat. Cangkul Giman siap diayunkan ke lehernya. Sedangkan aku akan menikamkan bambu ini ke bokongnya.
"Kalau tidak mau diganggu, sebaiknya lekas pergi dari sini!" Bentak Narma. "Kami tidak akan mengganggu kalau kamu sendiri tidak mengganggu. Makanya pergilah secepatnya dari sini!"
Si mayat tertawa mengikik, mirip ringkikkan kuda jantan mau kawan. "Kalau aku tidak mau pergi?"
"Aku akan paksa!"
"Kalau saya melawan?"
"Akan saya buat kamu lebih sengsara dan menderita. Mana yang kamu pilih?"
Si mayat meringkik lagi. Kali ini lebih panjang, lebih melengking, lebih mendirikan bulu tengkuk, meski sekujur tubuh kami sudah kuyup. Aku mulai menggigil. Tapi kutahan. Pertarungan baru akan dimulai. Atau, sebaliknya.......?
Si mayat ternyata memilih kabur setelah sebelumnya berteriak-teriak kepanasan dan minta diampuni. Aku maklum, dia pasti tak kuat menahan ' serangan' Narma. Narma bukan sembarangan orang, sudah terlalu biasa baginya kalau hanya menghadapi jin dan sebangsanya. Dia sendiri bahkan pernah dikubur selama dua tahun, dan terbukti masih hidup seperti manusia normal lainnya.
Namun begitu, bukan berarti perburuan telah selesai. Karena si mayat hidup tadi memang bukan sasaran target kami malam ini. Yang kami cari justru bungkusan besar yang dijadikan alas tidur si mayat. Kalau bukan disebabkan isi bungkusan tersebut manalah mungkin kami bertiga nekad melakukan perburuan edan seperti ini. Selain telah lancang memasuki wilayah orang lain tanpa prosedur, juga telah menghabiskan dana jutaan rupiah serta proses waktu yang panjang.
Isi bungkusan tersebut, menurut Haji Topik sebulan lalu, adalah uang sebesar 10 milyar rupiah. Bayangkan, 10 milyar rupiah! Siapa orang yang tidak merasa tergiur? Siapa pula yang tidak gelap mata. Apalagi tanpa harus merampok, menganiaya dan membunuh seseorang. Maka kukira, wajar-wajar saja dalam menghadapi situasi krisis seperti sekarang, jangankan yang halal, yang haram saja sudah bukan kepalang.
Cerita tentang uang tersebut memang panjang sekali dan berliku. Tapi intinya antara lain, bahwa uang tersebut merupakan hasil kerja bareng Haji Topik bersama sejumlah orang pintar. Bahan baku yang digunakan pada awal pekerjaan mereka adalah PL sejumlah Rp 10 juta. PL adalah istilah lain untuk menyebut uang kertas ratusan merah bergambar perahu layar, yang diproduksi Peruri pada tahun 1992.
Melalui suatu upacara ritual lengkap dengan sarana yang diperlukan, dan dengan menggunakan ilmu tertentu yang hanya dimiliki oleh orang-orang terntentu pula, selama 41 malam berzikir, PL itu pun berubah wujud menjadi lembaran ratusan ribu rupiah. Aneh memang. Media apa yang mereka gunakan ketika itu? Tetapi demikian realitanya.
Masih menurut Haji Topik, mereka menggunakan bantuan Batara Karang (sejenis jenglot, tapi lebih mumpuni) dengan menjanjikan akan memehuni apa saja yang diminta si Batara Karang. "Tetapi, begitu kita ambil selembar, kemudian dibelikan rokok, kopi, gula dan sejumlah makanan kecil, ternyata bau bangkai. Rokok yang kita hisap bau bangkai, kopi yang kita minum bau bangkai, dan makanan pun demikian. Kita sendiri bingung waktu itu, karena bisa begini. Apa yang salah, apa yang kurang?" Ujar Haji Topik menjelaskan keanehan yang terjadi. Dan hingga disitu semua buntu, tak seorangpun dari kelompok mereka yang berhasil memecahkan masalah tersebut. Mereka hanya saling bertanya keheranan.
Semakin hari bau busuk itu terus menyengat. Satu dua tetangga Haji Asep, salah seorang rekan terdekat Haji Topik, mulai mengendus adanya bau busuk tadi. Haji Asep cemas karenanya. Bahkan setelah semakin santer, ia didatangi seorang reserse yang menanyakan asal muasal datangnya bau busuk itu. Tapi ia berhasil dinetralisir secara santun, toh hasilnya tetap sama. Ia paling takut berurusan dengan polisi. Kemudian atas kesepakatan bersama, Haji Asep kebagian tugas untuk mengamankan uang tersebut. Haji Asep lantas memilih bukit Cikundul sebagai satu-satunya tempat paling aman untuk menyimpan uang tersebut.
Dan aku adalah orang pertama yang dimintai bantuan oleh Haji Topik untuk menyempurnakan uang tersebut. Dengan cara gaib, tentunya. Maka beberapa hari setelah kupelajari secara detil, aku pun segera menyampaikan hal tersebut kepada orang tuaku di Majalengka. Pak Nurdin Ramanda, namanya.
Hasilnya? Ternyata tak semudah yang kubayangkan. Sewaktu Narma dan Giman mencongkel dan bermaksud mengangkat bungkusan itu, tiba-tiba ada sebuah sinar biru melesat dari dasar liang. Bungkusan terlepas. Keduanya tersandar pada dinding liang. Aku berusaha menghindar sebisaku ketika sinar tadi menyerang ke arahku. Kulihat jelas seperti mata harimau, berputar-putar dan beberapa kali menyerangku.
Tak lama kemudian sinar itu menyerang Narma. Narma berkelit, terjatuh. Sebelum mampu berdiri tegak, Giman sudah diserang terlebih dahulu sehingga ia terpelanting ke belakang. Bokongnya disambut pohon perdu berduri. Ia terluka, berdarah, meringis kesakitan. Namun tak lama kemudian bangkit lagi sambil memasang kuda-kuda yang lebih kukuh.
"Awas, ini batara karang. Berbahaya. Hati-hati!" Teriak Narma dalam guyuran hujan yang bertambah deras. Saat itu kuperhatikan sekitar pukul satu lewat. Saat itulah kupingku menangkap sebuah suara lembut tapi jelas. "Sebaiknya kalian bertiga mundur saja. Resikonya sangat besar. BK (batara karang) itu tidak akan membiarkan siapa pun mengambil dan mempergunakan uang tersebut sebelum yang bersangkutan dalam urusan ini menepati janjinya. Kalau kalian memaksa juga, tumbalnya adalah nyawa. Bukan cuma nyawa kalian saja, melainkan nyawa anak istri dan keluarga serta siap saja yang menikmati uang itu."
"Terima kasih Eyang. Tapi ini siapa?" Tanyaku memberanikan diri. Padahal sekujur tubuhku kian menggigil antara kedinginan dan ketakutan.
"Aku adalah saudara kembarmu. Assalamulaikum......."
"Wa'alaikum salam...." jawabku.
Aku menoleh sekeliling. Astaga, dari areal TPU kulihat bayangan putih bermunculan dari liang kubur masing-masing. Kian lama kian bertambah jumlahnya. Menurut perhitunganku, sekuat apa pun tenaga kami bertiga melakukan perlawanan, kekalahan akan berpihak pada kami. Maka aku segera memberi isyarat kepada Narma dan Giman agar selekasnya menghentikan perburan, kemudian mengambil langkah penyelamatan.
Terseok-seok kami bertiga menuruni bukit sambil tetap menghindari serangan si BK. Aku dan Narma selamat. Tapi Giman terpelanting ke sungai sementara si BK terus memburu. Untunglah Narma bertindak cepat. Giman berhasil diselamatkan. Kami terus berlari menuju kendaraan yang sengaja kusembunyikan dibalik rumpun bambu. Namun apa yang kulihat betul-betul tak masuk akal. Espass itu sudah dalam keadaan terbalik. Siapa lagi pelakunya kalau bukan si BK, pikirku. Setelah berhasil mengatasi kendala tersebut, meski dengan susah payah, kami memutuskan untuk menghentikan perburuan. Kami menyerah, tapi bukan berarti kami kalah. Perburuan masih belum selesai. Suatu saat nanti kami pasti akan kembali lagi ke bukit Gundul untuk mengambil uang tersebut. Merebut kembali dari tangan si BK. Tentu saja dengan satu catatan, apabila Haji Topik bersama rekannya sudah menepati apa yang pernah mereka janjikan kepada si BK terkutuk itu.
Itulah kisah mistis yang kualami, kurasakan dan kunikmati suka dukanya bertarung melawan BK, pada Desember 2003 lalu. Di Cikundul, yang bernama asli Raden Aria Wiratanu Datar. Dimana nama ini sampai sekarang diabadikan sebagai nama salah satu jalan utama di kawasan Cianjur.
Kalau bukan lantaran uang 10 milyar, sumpah mampus aku tak sudi membongkar kuburan seseorang. Seumur hidupku, baru sekali itu aku edan-edanan. Apakah aku memang sudah edan? Tergantung bagaimana cara pembaca menyikapinya. Yang jelas dan pasti, aku tak akan pernah lagi mencetak angka 2. Mudah-mudahan sampai aku kembali ke pangkaun Sang Pencipta, Yang Maha Mengetahui atas segala perbuatan makhluknya.
Tiba-tiba sebuah sinar biru melesat dari dasar liang. Kulihat jelas seperti mata harimau, berputar-putar dan beberapa kali menyerangku.....
Kuburan itu tidak terkesan angker atau menyeramkan. Lokasinya berada di luar areal TPU seluas lebih kurang dua hektar, di atas bukit Cikundul, Cikalong Wetan, Cianjur, Jawa Barat. Namun, dalam situasi hujan badai di tengah malam, kondisinya menjadi sangat berbeda sekali dibanding siang hari ketika kami melakukan riset untk sebuah hasrat.
Dahan kamboja putih yang meliuk ke kanan dan ke kiri mengiktui irama angin diantara petir yang terus meyambar, seolah berubah laksana tangan-tangan hantu gentayangan. Menggapai-gapai seperti hendak mencekik. Tapi sesekali dahan yang terlihat selintas dalam kilatan petir itu seperti menggapai minta pertolongan. Tak ubahnya arwah manusia yang minta disempurnakan, sehingga mendapat tempat layak di alam kelanggengan.
"Gimana kang, bisa dimulai?" Giman minta pendapat kang Narma.
"Sebentar, saya mau cek sekali lagi," jawab Narma. Kemudian ia memejamkan mata, mengangkat kedua tangannya sebagaimana layaknya berdoa.
Mulutnya komat-kamit merapal mantera-mantera yang sudah disiapkan sebelum melakukan perburuan edan ini. Kenapa kusebut perburuan edan? Karena malam ini kami akan membongkar kuburan seseorang. Aku tidak tahu jenazah siapa yang ditanam di situ. Aku pun tidak tahu apakah mayat tersebut masih utuh terbungkus kain kafan atau sudah menjadi tengkorak. Begitu pula apa yang akan terjadi selanjutnya, apakah mayat itu akan diam saja seperti gedebong pisang, atau melakukan perlawanan karena tempat tinggalnya telah kami bongkar tanpa santun. Bagiku ketika itu, apa yang akan terjadi, terjadilah. Yang penting misi ini harus sukses! Begitu target kami bertiga.
Atas perintah Narma, penggalian pun dimulai. Giman mengayun cangkul, sementara Narma menyambutnya dengan sekop. Aku berdiri pada posisi yang lebih tinggi. Ini sengaja kulakukan demikian atas kesepakatan kami bertiga agar aku dapat melihat lebih leluasa bila ada sesuatu hal yang tidak kami kehendaki, entah dari manusia maupun dari makhluk gaib sebangsa jin, setan dan genderuwo. Sebab, bukan mustahil pekerjaan kami sudah sejak tadi diawasi oleh puluhan pasang mata.
Satu jam berselang, penggalian dihentikan sementara. Juga atas perintah Narma. Aku melihat liang itu telah menganga lebar, sesosok tubuh putih terbaring di dasar sana, basah disiram hujan. Spontan, kewaspadaanku makin kutingkatkan, karena aku yakin akan terjadi sesuatu.
Dulu, sewaktu aku masih di Pondok Pesantren, Kyai Hasbullah pernah berpesan wanti-wanti. "Untuk tujuan apa pun, jangan sekali-kali berbuat nekad dengan gegabah membongkar kuburan seseorang kalau kamu tidak siap bertarung melawan arwah yang bangkit dari liang kubur itu. Kecuali apabila kamu sudah betul-betul menguasai ilmunya. Ingat itu baik-baik, Yu." Begitu peringatan Kyai yang masih terngiang di telingaku.
Pesan itu ternyata menjadi kenyataan. Mayat itu benar-benar bangkit dari tidur panjanganya. Ia berdiri dengan sikap menantang, lalu berkata dengan suara lantang. Suara perempuan tua. "Kenapa kalian berani membongkar rumah saya dan mengganggu tidur saya, ha! Apa yang kalian cari di sini? Ini rumahku. Sudah puluhan tahun aku disini. Jadi, Jangan coba-coba mengusikku, apalagi berani mengusirku dari rumahku sendiri. Kalian dengar itu?!"
Narma dan Giman serentak mundur beberapa langkah, bersiaga penuh. Aku malah maju mendekati mereka dengan sebatang bambu kuning runcing. Ujung linggis Narma siap diarahkan ke jantung si mayat. Cangkul Giman siap diayunkan ke lehernya. Sedangkan aku akan menikamkan bambu ini ke bokongnya.
"Kalau tidak mau diganggu, sebaiknya lekas pergi dari sini!" Bentak Narma. "Kami tidak akan mengganggu kalau kamu sendiri tidak mengganggu. Makanya pergilah secepatnya dari sini!"
Si mayat tertawa mengikik, mirip ringkikkan kuda jantan mau kawan. "Kalau aku tidak mau pergi?"
"Aku akan paksa!"
"Kalau saya melawan?"
"Akan saya buat kamu lebih sengsara dan menderita. Mana yang kamu pilih?"
Si mayat meringkik lagi. Kali ini lebih panjang, lebih melengking, lebih mendirikan bulu tengkuk, meski sekujur tubuh kami sudah kuyup. Aku mulai menggigil. Tapi kutahan. Pertarungan baru akan dimulai. Atau, sebaliknya.......?
Si mayat ternyata memilih kabur setelah sebelumnya berteriak-teriak kepanasan dan minta diampuni. Aku maklum, dia pasti tak kuat menahan ' serangan' Narma. Narma bukan sembarangan orang, sudah terlalu biasa baginya kalau hanya menghadapi jin dan sebangsanya. Dia sendiri bahkan pernah dikubur selama dua tahun, dan terbukti masih hidup seperti manusia normal lainnya.
Namun begitu, bukan berarti perburuan telah selesai. Karena si mayat hidup tadi memang bukan sasaran target kami malam ini. Yang kami cari justru bungkusan besar yang dijadikan alas tidur si mayat. Kalau bukan disebabkan isi bungkusan tersebut manalah mungkin kami bertiga nekad melakukan perburuan edan seperti ini. Selain telah lancang memasuki wilayah orang lain tanpa prosedur, juga telah menghabiskan dana jutaan rupiah serta proses waktu yang panjang.
Isi bungkusan tersebut, menurut Haji Topik sebulan lalu, adalah uang sebesar 10 milyar rupiah. Bayangkan, 10 milyar rupiah! Siapa orang yang tidak merasa tergiur? Siapa pula yang tidak gelap mata. Apalagi tanpa harus merampok, menganiaya dan membunuh seseorang. Maka kukira, wajar-wajar saja dalam menghadapi situasi krisis seperti sekarang, jangankan yang halal, yang haram saja sudah bukan kepalang.
Cerita tentang uang tersebut memang panjang sekali dan berliku. Tapi intinya antara lain, bahwa uang tersebut merupakan hasil kerja bareng Haji Topik bersama sejumlah orang pintar. Bahan baku yang digunakan pada awal pekerjaan mereka adalah PL sejumlah Rp 10 juta. PL adalah istilah lain untuk menyebut uang kertas ratusan merah bergambar perahu layar, yang diproduksi Peruri pada tahun 1992.
Melalui suatu upacara ritual lengkap dengan sarana yang diperlukan, dan dengan menggunakan ilmu tertentu yang hanya dimiliki oleh orang-orang terntentu pula, selama 41 malam berzikir, PL itu pun berubah wujud menjadi lembaran ratusan ribu rupiah. Aneh memang. Media apa yang mereka gunakan ketika itu? Tetapi demikian realitanya.
Masih menurut Haji Topik, mereka menggunakan bantuan Batara Karang (sejenis jenglot, tapi lebih mumpuni) dengan menjanjikan akan memehuni apa saja yang diminta si Batara Karang. "Tetapi, begitu kita ambil selembar, kemudian dibelikan rokok, kopi, gula dan sejumlah makanan kecil, ternyata bau bangkai. Rokok yang kita hisap bau bangkai, kopi yang kita minum bau bangkai, dan makanan pun demikian. Kita sendiri bingung waktu itu, karena bisa begini. Apa yang salah, apa yang kurang?" Ujar Haji Topik menjelaskan keanehan yang terjadi. Dan hingga disitu semua buntu, tak seorangpun dari kelompok mereka yang berhasil memecahkan masalah tersebut. Mereka hanya saling bertanya keheranan.
Semakin hari bau busuk itu terus menyengat. Satu dua tetangga Haji Asep, salah seorang rekan terdekat Haji Topik, mulai mengendus adanya bau busuk tadi. Haji Asep cemas karenanya. Bahkan setelah semakin santer, ia didatangi seorang reserse yang menanyakan asal muasal datangnya bau busuk itu. Tapi ia berhasil dinetralisir secara santun, toh hasilnya tetap sama. Ia paling takut berurusan dengan polisi. Kemudian atas kesepakatan bersama, Haji Asep kebagian tugas untuk mengamankan uang tersebut. Haji Asep lantas memilih bukit Cikundul sebagai satu-satunya tempat paling aman untuk menyimpan uang tersebut.
Dan aku adalah orang pertama yang dimintai bantuan oleh Haji Topik untuk menyempurnakan uang tersebut. Dengan cara gaib, tentunya. Maka beberapa hari setelah kupelajari secara detil, aku pun segera menyampaikan hal tersebut kepada orang tuaku di Majalengka. Pak Nurdin Ramanda, namanya.
Hasilnya? Ternyata tak semudah yang kubayangkan. Sewaktu Narma dan Giman mencongkel dan bermaksud mengangkat bungkusan itu, tiba-tiba ada sebuah sinar biru melesat dari dasar liang. Bungkusan terlepas. Keduanya tersandar pada dinding liang. Aku berusaha menghindar sebisaku ketika sinar tadi menyerang ke arahku. Kulihat jelas seperti mata harimau, berputar-putar dan beberapa kali menyerangku.
Tak lama kemudian sinar itu menyerang Narma. Narma berkelit, terjatuh. Sebelum mampu berdiri tegak, Giman sudah diserang terlebih dahulu sehingga ia terpelanting ke belakang. Bokongnya disambut pohon perdu berduri. Ia terluka, berdarah, meringis kesakitan. Namun tak lama kemudian bangkit lagi sambil memasang kuda-kuda yang lebih kukuh.
"Awas, ini batara karang. Berbahaya. Hati-hati!" Teriak Narma dalam guyuran hujan yang bertambah deras. Saat itu kuperhatikan sekitar pukul satu lewat. Saat itulah kupingku menangkap sebuah suara lembut tapi jelas. "Sebaiknya kalian bertiga mundur saja. Resikonya sangat besar. BK (batara karang) itu tidak akan membiarkan siapa pun mengambil dan mempergunakan uang tersebut sebelum yang bersangkutan dalam urusan ini menepati janjinya. Kalau kalian memaksa juga, tumbalnya adalah nyawa. Bukan cuma nyawa kalian saja, melainkan nyawa anak istri dan keluarga serta siap saja yang menikmati uang itu."
"Terima kasih Eyang. Tapi ini siapa?" Tanyaku memberanikan diri. Padahal sekujur tubuhku kian menggigil antara kedinginan dan ketakutan.
"Aku adalah saudara kembarmu. Assalamulaikum......."
"Wa'alaikum salam...." jawabku.
Aku menoleh sekeliling. Astaga, dari areal TPU kulihat bayangan putih bermunculan dari liang kubur masing-masing. Kian lama kian bertambah jumlahnya. Menurut perhitunganku, sekuat apa pun tenaga kami bertiga melakukan perlawanan, kekalahan akan berpihak pada kami. Maka aku segera memberi isyarat kepada Narma dan Giman agar selekasnya menghentikan perburan, kemudian mengambil langkah penyelamatan.
Terseok-seok kami bertiga menuruni bukit sambil tetap menghindari serangan si BK. Aku dan Narma selamat. Tapi Giman terpelanting ke sungai sementara si BK terus memburu. Untunglah Narma bertindak cepat. Giman berhasil diselamatkan. Kami terus berlari menuju kendaraan yang sengaja kusembunyikan dibalik rumpun bambu. Namun apa yang kulihat betul-betul tak masuk akal. Espass itu sudah dalam keadaan terbalik. Siapa lagi pelakunya kalau bukan si BK, pikirku. Setelah berhasil mengatasi kendala tersebut, meski dengan susah payah, kami memutuskan untuk menghentikan perburuan. Kami menyerah, tapi bukan berarti kami kalah. Perburuan masih belum selesai. Suatu saat nanti kami pasti akan kembali lagi ke bukit Gundul untuk mengambil uang tersebut. Merebut kembali dari tangan si BK. Tentu saja dengan satu catatan, apabila Haji Topik bersama rekannya sudah menepati apa yang pernah mereka janjikan kepada si BK terkutuk itu.
Itulah kisah mistis yang kualami, kurasakan dan kunikmati suka dukanya bertarung melawan BK, pada Desember 2003 lalu. Di Cikundul, yang bernama asli Raden Aria Wiratanu Datar. Dimana nama ini sampai sekarang diabadikan sebagai nama salah satu jalan utama di kawasan Cianjur.
Kalau bukan lantaran uang 10 milyar, sumpah mampus aku tak sudi membongkar kuburan seseorang. Seumur hidupku, baru sekali itu aku edan-edanan. Apakah aku memang sudah edan? Tergantung bagaimana cara pembaca menyikapinya. Yang jelas dan pasti, aku tak akan pernah lagi mencetak angka 2. Mudah-mudahan sampai aku kembali ke pangkaun Sang Pencipta, Yang Maha Mengetahui atas segala perbuatan makhluknya.
Comments
Post a Comment
tuliskan komentar anda untuk tanya jawab seputar ilmu di atas dan juga silakan menjawab komentar sedulur yang kira2 bisa menjawab isi komentar yang sudah ada.
terima kasih..