Pesan Dari Trowulan
KI SABDALANGIT
Tujuan utama ke Trowulan terutama untuk mundi dawuh
perintah langsung dari Sri Narpati Brawijaya V yang di luar dugaan kami
terima beberapa hari sebelum mengambil keputusan bulat untuk menghadiri
undangan Mas Panji Trisula (Bustanus Salatin) salah seorang Ketua IPPNU
Jatim periode th 2000, dalam acara “Sarasehan Bulan Purnama ; Memperingati Turunnya Wahyu Makutharama”
yang diadakan di Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto Prop Jawa
Timur. Selain itu kami berserta rombongan ingin sekali mewujudkan rasa
berbakti kepada para leluhur besar bumiputra perintis dan penopang
kejayaan Nusantara di masa lalu, tidak dengan cara enaknya sendiri mulut
sekedar komat-kamit saja dari rumah. Sikap berbakti akan lebih berharga
jika diwujudkan dalam tindakan nyata dengan cara marak sowan mengunjungi petilasan pepunden untuk tujuan napak tilas serta atur pisungsung sembah bekti
kepada para leluhur besar Nusantara. Tidak cukup berhenti di situ,
lebih penting adalah mengambil pelajaran berharga yang selanjutnya
diimplementasikan dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Jika peduli
dan mau, kita sebagai generasi penerus bangsa sudah semestinya
melakukan koreksi atas perjalanan sejarah bangsa besar ini di masa lalu
pernah lepas kendali hingga kini berkembang kian salah kaprah. Tidak
semata sebagai sebuah kesalahan kebijakan masa lalu, tetapi tingginya
sikap toleransi para pendahulu bangsa terutama terhadap anasir sistem
kepercayaan (religi) yang berasal dari budaya asing. Toleransi tinggi
para pendahulu bangsa berhubungan dengan tingginya pemahaman tentang apa
sejatinya religi dan sistem kepercayaan. Toleransi menumbuhkan
prasangka baik dan kelonggaran sikap terhadap unsur asing walau banyak
perbedaan secara esensial. Namun hal itu justru dimanfaatkan oleh para jahil
pembawa anasir asing sebagai suatu kesempatan untuk menjalankan misi
jahiliahnya. Namun dalam perkembangannya, sistem sosial dan politik
berkembang secara liar tidak seperti yang diharapkan oleh para leluhur
besar perintis Nusantara. Bahkan hingga kini dampak buruknya kian
dirasakan oleh generasi sekarang.
Apabila mau
jujur dan para sejarawan bersama arkeolog mau meluruskan sejarah tentu
akan ditemukan banyak kebohongan dalam “dongeng-dongeng” yang dikemas
seolah bagaikan suatu kejujuran sejarah. Terutama cerita-cerita tentang
masuknya para saudagar Gujarat, saudagar Mesir, saudagar Maroko dan
Turki yang sangat tergiur oleh gemah ripahnya Nusantara. Kisah-kisah
masuknya saudagar ke Bumi Nusantara selanjutnya dirombak berupa
“dongeng-dongeng” yang mengimajinasikan tokoh sakti mandraguna yang
perjalanan hidupnya penuh perjuangan menegakkan kebenaran tuhan. Sebagai
salah satu trik kolonialisme, di dalamnya terdapat intrik-intrik
politik dagang dan perebutan kekuasaan yang didukung melalui penciptaan
dongeng-dongeng adu kesaktian antara para saudagar yang dicitrakan
sebagai wakil tuhan versus penduduk asli pribumi yang dicitrakan sebagai
musuh tuhan. Ya..semua itu masih dalam kerangka proyek pemenangan
politik dagang para saudagar beserta pengikutnya. Mayoritas anak bangsa
mungkin termasuk Anda para pembaca, mungkin merupakan anak turun dari
para pendahulu bangsa yang menjadi korban atas pencitraan tendensius dan
subyektif dari para saudagar bersama pendukungnya. Jika Anda tidak
terima, lantas pembelaan macam mana yang bisa Anda lakukan ? Maka,
luruskan sejarah bangsa besar ini, agar supaya yang benar tampak benar,
yang salah terbongkar kedoknya. Sehingga dapat dijadikan pelajaran
berharga bagi generasi penerus bangsa yang ingin mengerti kesejatian
hidup ini apa sesungguhnya.
Dalam cara pandang sosio-ekonomis, jika Anda ingin memenangkan persaingan marketing, ada dua kiat jitu yang bisa ditempuh, pertama, susupkan barang dagangan ke dalam unsur budaya lokal calon konsumen. Kedua,
kuasai, dominasi, dan setir pola pikir calon konsumen agar supaya
mengikuti kemauan si marketing. Tentu Anda akan menjadi marketing yang
sukses menangguk keuntungan besar. Apalagi “kolonialisasi” dan dominasi
terhadap pola pikir konsumen melalui berbagai doktrin di antaranya
dengan mengatasnamakan tuhan. Ditambah advertensi berupa iming-iming
pahala bagi siapa saja yang mau mengkonsumsi dagangannya. Wow..pasti
akan laris manis apapun jenis dagangannya. Selanjutnya, Anda tinggal
menyingkirkan pesaing-pesaing bisnis Anda, dengan cara politik adu domba,
aktif menciptakan wacana friksi dan gap, serta sibuk menumbuhkan
konflik-konflik antara elemen-elemen kekuatan para pesaing. Dalam hal
ini kearifan lokal (local wisdom) dan
kerajaan-kerajaan yang masih eksis memegang teguh budaya dan tradisi
bumipertiwi dapat diperankan sebagai pesaing paling diperhitungkan.
Ternyata, politik devide et impera-nya Belanda hanya sekedar meniru politik a la
saudagar asing. Tengok saja periode sejarah sebelum masa kedatangan
para saudagar, sejarah kerajaan Nusantara abad Sebelum Masehi (kerajaan
pertama Kutai Lama) hingga akhir abad 12 masa Majapahit awal, perang
atau konflik antara kerajaan sangat jarang terjadi. Namun semenjak abad
14 terjadi peningkatan intensitas konflik. Selain dengan cara tersebut,
penjajahan paling efektif bisa ditempuh melalui cara “perkawinan silang”
antara penjajah dengan pribumi, di mana peran suami lebih banyak diisi
oleh laki-laki penjajah, sedangkan peran istri diisi oleh mayoritas
perempuan pribumi. Hal ini bertujuan tentu saja untuk mengamankan
kepentingan,aset dan meluaskan otoritas kaum penjajah yang menganut
sistem patrilineal. Hebat bukan..sekali dayung dua-tiga pulau
terlampaui. Politik apa ini namanya? Sembari berkuasa masih pula
berpesta kenikmatan. Siapa kiranya yang tak tergiur. Program dan rencana
akan jauh lebih sukses bila saudagar sembari membawa-bawa dan mengklaim
diri sebagai orang suci pembawa kebenaran tuhan. Sudah dagangannya
laris, dapat belahan surgawi wanita-wanita pribumi, ditambah bonus
pahala lagi. Lantas lahirlah bayi-bayi merah tak berdosa dan tak tahu
apa-apa yang akan menghuni Nusantara sebagai generasi baru hasil politik
macam itu. Mungkin saja di antara kita ini adalah termasuk bayi-bayi
merah itu. Yang terpenting bukanlah menggugat siapa yang melahirkan diri
kita. Tetapi apa yang telah kita perbuat terhadap kebohongan sejarah?
Berani jujurkah generasi penerus bangsa ini? Ataukah kronologi sejarah
dan jejak-jejak kaki sejarah bangsa ini akan tetap ditopang oleh pondasi
sejarah palsu? Kain pel yang kotor, tak akan bisa membersihkan lantai
kotor tuan !
Kata Bung Karno,”Jasmerah !
Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah (yang jujur obyektif). Di zaman
modern dan serba terbuka ini, walau masih ada sebagian orang yang
bernafsu untuk memelintir sejarah sesuai kepentingannya, sudah
pasti..sejarah akan meluruskan dirinya sendiri. Sesuatu yang dianggap
kebenaran mutlak di masa lalu, bisa saja terkoreksi oleh temuan-temuan
baru. Sejarah palsu hanya bisa berbohong dalam kurun waktu yang tidak
tak terbatas. Tidak selamanya bau bangkai dapat disimpan rapat-rapat.
Kini, generasi muda musti menyingkap bau bangkai itu, atau menyiapkan
“kain pel” yang benar-benar bersih. Generasi bangsa musti melakukan
koreksi signifikan untuk misi utama menyelamatkan Nusantara dari ambang
kehancuran total. Kurang apa lagi? Nusantara adalah singgasana, adalah
rumah pribadi, surga yang nyata dan bukan imajiner bagi anak-anak
negeri, bagi rakyat Indonesia. Dan kita semua, generasi penerus bangsa
sebagai tuan rumahnya, tentu saja di rumah pribadi kita Nusantara. Namun
saat ini lain kenyataannya, kita menjadi jongos di rumah sendiri, kita dipaksa mengabdi, membabukan diri kepada para “tamu” di rumah kita sendiri. Tamu mbagekake sing duwe omah.
Kita tertindas di negeri sendiri, oleh penjajah yang berdaging berdarah
sebagai WNI, tetapi berisi jiwa-jiwa yang tak ubahnya onggokan sampah
kepentingan, tumpukan kebekuan pola pikir, dan jiwa yang berisi komitmen
jahil yang loyal dan berporos kepada para penjajah dari negeri
antah-berantah. Banyak orang lebih suka napak tilas dan berziarah
kepada leluhur luar negri nun jauh di sana yang sama sekali tak ada
hubungan ras, bangsa, suku, apalagi kerabat sodara. Sekalipun
menghabiskan beaya puluhan juta tetap dilakoninya dengan harapan surga,
sebaliknya terhadap leluhurnya sendiri tidak berbakti, kuburannya
terbengkalai penuh ilalang, kotor tidak pernah diopeni. Lantas
di mana sang hatinurani?? Sementara harta warisannya sampai kini masih
mereka nikmati, bahkan sebagian telah dijual untuk ngabekti
kepada leluhur-leluhur asing nun jauh di luar negeri. Mau diakui ataupun
dipungkiri, pasti kualat akan datang menghampiri, kualat yang datang
dari sikap perilakunya sendiri. Jadilah wajah Nusantara yang seperti
ini. Rupa-rupa musibah dan bencana datang silih berganti, menerpa anak
negeri yang lupa diri, lebih suka memuaskan nafsu dan imajinasi. Potret
negeri di mana generasi penerusnya durhaka kepada sang ibu pertiwi.
Saat ini, tanggal 17 Juli, sebentar lagi Nusantara akan “bersih-bersih” diri. Goro-goro
gung tan kena den pungkiri. Murih tinarbukaning gapura gamabudi. Jaya
nusawantara den enteni. Kang kadapuk dadi pambuka, iya satria kang
jumedul ing pulo Semar Badranaya, sisih wetan sangkan ira. Mula den
eling den êmut, menawa ana Candra-ning Negoro. Iya iku satria kang piningit, datan aran ratu adil, nanging kang jumeneng dadi satria nagari Pambukaning Gapura.
Kolonialisme “the Dajjal”
Bentuk
kolonialisme yang melebihi model penjajahan terhadap daerah koloni,
bilamana yang dijajah adalah kemerdekaan fikir dan pembunuhan atas
kesadaran spiritual generasi penerus bangsa. Pola fikir dan kesadaran
spiritual, adalah dua pilar yang membentuk karakter bangsa. Dan terbukti
saat ini bangsa Indonesia telah kehilangan karakternya. Merupakan
kenyataan tak dapat ditutup-tutupi lagi, lihatlah…kini telah lahir
generasi dimana kesadaran spiritualnya tergembok rapat di dalam
tempurung kebodohan. Malah dengar-dengar ada generasi akhir yang akan
diberi nama “the dajjal” si makhluk bermata satu yang suka
gentayangan untuk memutar balik fakta dengan cara berdagang kata-kata
manis berbalut angin syurga. The dajjal lebih terasa sebagai kiasan yang
menggambarkan suatu pemahaman dangkal bahwa kebenaran dan ketuhanan
hanya boleh didefinisikan melalui satu “mata” saja. Yakni satu
persepsi, satu cara pandang, atau suatu ajaran yang telah dikemas
menjadi institusi. Konsekuensinya, apapun persepsi tentang kebenaran,
keyakinan, dan tentang tuhan di luar persepsi itu adalah sesat dan kopar kapir.
Penganut pola pikir semacam ini akan menjadi generasi anti-toleran dan
fanatik, yakni generasi anti perbedaan pendapat. Tidak mau berbaik
sangka dengan berfikiran positif-konstruktif terhadap segala perbedaan.
Tentu saja realitas sosial semacam itu bertentangan dengan hukum alam.
Dan siapapun, apapun, jika bertentangan dengan hukum alam, alamlah yang
akan melebur.
The dajjal
akan sibuk gentayangan sana-sini memutarbalikan fakta antara kebenaran
dengan ilusi. Antara kebohongan dengan kejujuran. Menjadi tugas berat
the dajjal untuk tetap mempertahankan kebohongan dan kepalsuan yang
sudah berlangsung kurang lebih 1500 tahun lamanya. Apabila segala
kepalsuan dan kebohongan itu terbongkar oleh temuan-temuan baru, dan
oleh evolusi kesadaran manusia-manusia generasi baru, selanjutnya pola
pikir masyarakat dunia akan segera berganti dengan paradigma pikir baru
yang lebih realistis, membumi dan penuh nilai-nilai humanis. Saat itulah
terjadi kiamat, bukan berarti kehancuran planet bumi bersama jagad
semesta, melainkan kebangkrutan total segala macam ajaran lama yang
penuh ilusi.
Bagi yang
mampu beradaptasi dengan kehendak alam, pada gilirannya kekuatan alam
akan mendaur ulang menjadi generasi baru yang memiliki kesadaran kosmologis
yang selaras, sinergis dan harmonis dengan hukum alam. Mereka akan
lahir sebagai manusia sejati yang mengerti diri sejati, dan memahami apa
sejatinya hidup ini. Sebaliknya yang menolak koreksi alam dan hukum
dinamika zaman, akan semakin sulit menyadari bahwa dirinya telah
dirundung sakit jiwa yang berkepanjangan.
NAPAK TILAS dan PERISTIWA PENUH ARTI
Motivasi
kehadiran rombongan kami dalam rangka ikut serta berkumpul bersama
seluruh sedulur dari berbagai kalangan yang hadir di acara sakral
Sarasehan Bulan Purnama dengan tema Memperingai Turunnya Wahyu Makutharama,
yang dipandegani oleh Mas Panji Trisula (Bustanus Salatin).Terimakasih
tak terhingga atas segala sambutan dan kehangatan paseduluran dari
sedulur-sedulur yang hadir dalam acara tsb. Sungguh bagai oasis
menyejukkan dahaga spiritual di tengah panasnya terpaan the desert storm
“badai gurun” yang melanda Nusantara saat ini. Kami berharap apa yang
telah dilakukannya menjadi amal kebaikan yang berkausalitas atas
berlimpahnya berkah dari para leluhur besar Kerajaan Majapahit.
Kebaikan-kebaikan yang dilakukan akan menjadi pagar gaib yang melindungi
diri sendiri, menjadikan diri tak bisa dicelakai orang dan selalu
menemukan keberuntungan dalam setiap langkahnya.
Hujan Sebagai Pertanda Baik
Pukul 16.30
wib kendaraan terus melaju meninggalkan kota Jombang. Arah kendaraan
menuju Kec.Trowulan Kab Mojokerto. Walau musim kemarau sedang berada
dalam puncaknya, namun tiba-tiba turun hujan dengan derasnya. Seperti
biasa, fenomena hujan deras seringkali mewarnai dalam tiap acara-acara
sakral yang berhubungan dengan leluhur besar. Tidak hanya terjadi di
Jawa, Sunda, Bali, Sumatera bahkan hingga di Kalimantan. Dalam tradisi
Jawa, hujan yang tidak lazim terjadi itu sebagai pertanda diterimanya
acara atau ritual yang akan kita laksanakan. Hujan pertanda baik
biasanya terjadi beberapa saat sebelum acara dimulai, namun menjelang acara dimulai hujan akan reda kembali. Pukul 17.00 Wib (Jawa: pitulas, alias simbol bermakna “pitulungan lan kawelasan“)
karena kami merasakan misteri daya tarik energi yang sangat kuat,
akhirnya rombongan kami berempat memutuskan untuk berhenti tepatnya di
Depot Arema di Jl Raya Jombang-Mojokerto, yang ternyata berjarak 2,100
meter dari Sitihinggil Trowulan. Sarasehan Bulan Purnama merupakan acara
sakral dilaksanakan setiap siklus 210 hari. Sejenak rombongan kami
menyeruput secangkir kopi, sementara itu terasa semakin kuat daya tarik
energi. Pelacakan sumber energi menemukan datangnya energi itu berasal
dari kolam raksasa Tambak Segaran. Kolam raksasa buatan manusia, sebagai
situs peninggalan Majapahit yang telah berumur kurang lebih 800-900
tahun.
Pukul 17.30 wib hujan kembali reda. Dengan beberapa pertimbangan, kami memutuskan untuk kulonuwun
terlebih dahulu kepada para leluhur yang berada di gerbang Siti Hinggil
Trowulan dan kepada Panpel. Pada jam 19.00 wib atau jam 7 malam, dari
Sasono Hinggil kami merapat ke Kolam Tambak Segaran yang berjarak hanya
sekitar 1,7 km. Di lokasi kolam Tambak Segaran sudah menunggu dulur-dulur wetan ; Ki Camat Kec Taman (Ki Amig Bahrul Alam alias Ki Juru Taman), Ki Wongalus (KWA), Mas Kumitir (Alang-alang kumitir).
Ditambah rombongan kami berempat, saya bersama istri, Mas Harimurti
dari Jogja dan Mas Andreas dari Jakarta, sehingga jumlah rombongan kami
ada 7 (pitulungan) orang. Kami mulai “neng” (meneng/jumeneng; berdiam raga dan konsentrasi untuk membangunkan kesadaran rasa sejati), dengan tujuan untuk meraih “ning” (wening/kebeningan atau ketajaman batin), sambil maneges kepada Jagadnata dan Para Leluhur Majapahit dengan harapan siapa tahu mendapat “nung” (kesinungan) berkah agung.
Gerbang Metafisika
Beberapa
menit hanya menyisakan kesunyian memagut yang membawa perasaan
keheningan dan kedamaian begitu dalam. Membawa suasana hati yang
tenteram. Kita bersihkan hati dari segala macam penghalang,
bersihkan dari perasaan iri dan dengki. Kita netralkan dan beningkan
pikiran dari segala prasangka buruk dan berbagai ilusi-halusinasi. Beberapa saat setelah kami menghaturkan sesaji menabur bunga sebagai pertanda “kulanuwun” dan salah satu upaya sembah bekti, attunment/penyelarasan,
mensinergikan dengan getaran jagad semesta. Tak berapa lama kemudian
gayung mulai bersambut. Segera tampak tanda kehadiran para abdidalem
(pegawai kerajaan) Majapahit di masa lalu sebagai pertanda adanya
sambutan “tuan rumah”. Saat itu belum juga tampak kehadiran leluhur Ratu
Gung Binatara. Namun pada saat jarum jam menunjukkan pukul 20.10 wib
(2010) kabut putih dan sangat tebal mendadak turun, kami melihat antara
dimensi fisik dan metafisik sedang terjadi proses persisihan, seolah
saling mendekatkan “jarak” di antaranya. Beberapa detik kemudian,
terbukalah gerbang dimensi metafisik. Secara kasat mata, yang tampak
sedikit berbeda dengan pemandangan sesungguhnya. Tujuh orang, semua
melihat kabut putih begitu tebal, disertai hawa dingin, dan sedikit
rintikan gerimis bagai percikan embun yang sangat menyejukkan. Di tengah
kabut putih tebal itu, tepat di atas permukaan air tampak jelas muncul
lingkaran bundar simetris berdiameter kurang lebih 20 meter. Bentuk dan
warnanya sangat jelas karena saat itu bulan purnama sedang kuat
memancarkan sinarnya. Di dalam lingkaran itu keadaannya sama sekali
bersih dari kabut sehingga tampak lah warna bening kehitaman, tetapi
jika dilihat dengan mata batin, segera tampak warna bening transparan
membentuk lobang besar. Dalam waktu sekitar 20 menit, lingkaran tersebut
berubah konfigurasi dari bentuk lingkaran, kemudian kedua sisi
kiri-kanan perlahan berubah memanjang (mulur) membentuk alur panjang
melengkung menjadi garis setengah lingkaran yang berdiameter lebih
besar. Kedua ujung setengah lingkaran masing-masing menyentuh dinding
kolam. Hingga tampak ada garis lengkungan (setengah lingkaran) besar
seolah mengurung 7 orang rombongan kami. Bening, kehitaman, perlahan
semakin mendekati posisi kami duduk bermeditasi, hingga berjarak sekitar
5 meter tepat di depan kami. Pada saat itu tampaklah titik cahaya putih
terang berkilau di dasar air, yang dapat disaksikan sebagian besar
anggota rombongan kami. Titik cahaya itu hanya sebesar lampu sein mobil,
walaupun berada di dalam air ia memancarkan warna putih berkilau yang
cukup terang. Benda misteri itu ternyata wujud Kalpika (cincin pusaka)
milik Sri Narpati Brawijaya. Tepat pada pukul 20.40 wib, hanya dalam
waktu kurang dari 2 menit, semua fenomena tersebut menjadi pudar dan
lenyap dengan cepatnya. Lingkaran besar itu dengan cepatnya sirna
kembali bagaikan tirai yang dibentangkan untuk menutup jendela.
Pemandangan berganti dengan kabut putih tebal bagai layar terkembang
menutupi permukaan air, sakral dan mistis seolah-olah “pagelaran wayang”
akan segera dimulai. Saat itu di kejauhan terdengar sayup-sayup suara
gending. Semoga suara gending itu merupakan isyarat pembuka mengiringi
layar Nusantara yang mulai terkembang.
Misteri
kolam mulai tersibak. Secara fisik berupa kolam raksasa dengan ukuran
lebar sekitar 80 meter x 300 meter, namun secara metafisik merupakan
Keraton Majapahit yang masih “eksis” hingga saat ini. Hanya bedanya,
para penghuninya sudah melakukan proses ”metamorfosis”, menjalani
kehidupan sejati dengan tidak menggunakan jasad lagi. Mereka sekedar
pindah dimensi saja. Mereka adalah generasi pendahulu kita yang sudah
lahir ke dalam kehidupan sejati setelah sekian lama “sang janin” berada
di dalam kandungan ibu pertiwi, di dalam rahim mercapada.
Rombongan
kami segera beranjak kembali ke Sasono Hinggil Trowulan, di mana Mas
Panji Trisula dan seluruh hadirin telah siap memulai mata acara. Tepat
pada pukul 21.00 Wib (210) kami tiba di Pendopo Siti Hinggil. Saya
semakin memahami apa yang disampaikan Mas Panji tentang siklus 210 hari.
Sejak awal saya dihubungi Mas Panji saya meminta beliau memberi jadwal
bicara pada pukul 21.00 wib dengan suatu alasan…entah! Saya hanya
mengikuti getaran nurani saja dan kini semuanya sudah tejawab. Kata Mas
Panji Trisula, acara sarasehan ini ternyata dilakukan dalam Siklus 210
hari sekali.mirip metamorfosa sel yang akan berkembang biak menjadi
banyak kemudian menyebar benih di seluruh penjuru. Kajian Mikrobiologi
siklus 210 harian dari Gede Junidwaja. Menurut beliau yang dulu punya
bos bule dari USA seorang master biokimia lama tinggal di Bali dan
sangat rajin melakukan riset mandiri. Menurut hipotesisnya ini terkait
dengan telomere sel. Umur sel rata-rata 210 hari. “Sel di organ kita
hari ini, akan berganti 210 hari lagi, jadi sel-sel buruk diubah paling
cepat 210 hari. Kuningan adalah nama wuku ke duabelas dalam tradisi
Majapahitan. Jatuh setiap 210 hari sekali, tepat pada hari Raditya
(Minggu) Wage. Dalam tradisi masyarakat Hindu Bali pada wuku ini
disebut hari suci Kuningan sebagai penutup serangkaian acara semenjak
masuknya wuku Galungan (wuku ke sebelas) yang jatuh pada hari Raditya
(Minggu) Pahing yang lalu”.
Namanya
saja memperingati, mengenang, atau napak tilas. Angka 21 termasuk angka
yang dikeramatkan oleh masyarakat Jawa, selain angka 7, 11, 17, 27. Kami
pun akhirnya menemukan jawaban soal angka 21 pada saat menghadiri acara
di Situs Kuno Trowulan. Termasuk sejak awal ingin sekali mengenakan
kemeja warna merah dalam acara tersebut. Ternyata warna merah merupakan
simbol sebagai warna identitas Majapahit, sebagaimana warna hijau
sebagai identitas Mataram, dan warna kuning sebagai warna kebesaran
Kerajaan Kutai.
Pukul 00.00
wib kami kembali ke kolam Tambak Segaran. Kali ini bersama para peserta
acara Sarasehan Bulan Purnama, untuk tujuan atur sesaji tabur bunga,
dan rombongan kami masih berharap dapat bertemu dengan para leluhur
Majapahit atau pun yang lainnya. Pukul 00.00 wib para peserta mulai patrap semedi, untuk tujuan membawa kesadaran diri kita masing-masing berada dalam getaran theta,
paling tidak mendekati getaran nol. Di mana bilangan nol sebagai
keadaan tiada batas, bilangan tak terhingga, mau dibagi berapapun
hasilnya tetap nol. Dalam kamus Jawa kita istilahkan sebagai keadaan
batin Duwe Rasa, Ora Duwe Rasa Duwe (punya
rasa, tidak punya rasa punya). Kita matikan kesadaran raga, untuk
selanjutnya merubah kesadaran menjadi kesadaran sukma supaya kesadaran
kita tidak lagi dicemari oleh ilusi dan halusinasi, termasuk imajinasi
yang terlanjur tertanam kuat di dalam otak bawah sadar akibat doktrin
sejak masa kanak-kanak. Kita berusaha membebaskan dan memerdekakan
kesadaran spiritual kita, dengan cara membiarkan kesadaran ruh yang
gantian berkuasa atas kesadaran raga.
Fenomena
kembali muncul, suasana yang bening tak berkabut, tiba-tiba muncul kabut
tebal dan putih, jelas-jelas bergerak cepat ke arah di mana kami duduk
bersemedi di pinggir kolam sebelah timur. Terasa bagai butiran es saat
kabut menerpa tubuh dan wajah kami. Serta merta kami mencoba maneges
sembari menyerap energinya. Dahsyat sekali! Ada yang aneh, dan dapat
disaksikan oleh sebagian rombongan kami, saat kabut itu tampak jelas
sekali seperti teriris persis di tengah kolam. Sebelah kiri berkabut
tebal sementara sebelah kanan bening tak ada kabut. Tidak ada degradasi
kabut, tetapi berupa demarkasi membentuk garis lurus. Di balik itulah,
tampak kehadiran Sri Narpati Brawijaya V berucap sesuatu. Tidak
berlangsung lama kemudian memudar lagi. Selanjutnya kami pamit undur
diri ke kembali ke Jogja.
PERTEMUAN KETIGA
Senin Pahing surya kaping 18 tabuh 10.21 wib warsa 2011.
Dada dan nafas tiba-tiba terasa sesak, terjadi desakan energi yang
teramat sangat kuat. Hampir saja membuat tubuh terpental. Apa yang
terjadi, sungguh suatu keberuntungan yang sangat besar. Kadya
karoban segara madu. Denya sakdremo kawula titah alit, karawuhan tuwin
pinaringan dawuh mring Srinarpati Gung Sang Prabu Brawijaya V.
Tanpa diduga dikira sebelumnya, hadirlah leluhur agung Srinarpati Prabu
Brawijaya V, beliau memanggil nama, menyebut nama, memberi kabar,
memberi perintah. Bahwasannya maksud dan tujuan ritual Bulan Purnama
diterima oleh para leluhur agung khususnya Majapahit, dan harapan kami
terhadap perubahan di Nusantara mendapat pangestu. Mendapat sabda dari pandita ratu yang berarti idu geni, ucapannya akan terjadi. Ya..”kunci” Nusantara akan diberikan kepada seseorang yang mampu jumeneng Candraning-negara. Ing samangke sawuse siniram kanthi tirtapraja. Sri Narpati berkata dalam bahasa Jawa Kuno, ini bukan pertemuan terakhir kali, melainkan awal, tunggu dawuh dan rawuhingsun untuk selanjutnya.
Mulai saat
ini “segitiga ” kekuatan supra telah terbangun utuh.
Kutai-Majapahit-Mataram. Yang berarti pula momentum perubahan Nusantara
akan segera terjadi. Meskipun saat ini tengah berlangsung skenario besar
oleh para leluhur agung Nusantara, akan tetapi tanpa adanya para
generasi bangsa yang peduli untuk menjemputnya, skenario itu masih akan
menunggu bangkitnya kesadaran prakawula muda bangsa untuk hamemayu hayuning bawana. Kini kesadaran spiritual dan genderang perdamaian semakin gencar ditabuh para kawula muda generasi penerus bangsa. Wolak-waliking jaman perlahan akan kembali ke arasnya semula, “becik ketitik, olo ketara“. Yang sering dituduh sesat, kapir kopar akan tampak sejatinya, yang merasa paling bener akan terbongkar kedoknya.
Kian tampak cemerlang kilauan intan permata
yang selama ini terendam oleh lumpur,
Emas akan kembali tampak sebagai emas,
yang tembaga akan kembali tampak aslinya sebagai tembaga,
besi-besi logam karatan
lebur oleh kekuatan bantala.
Wus katon suryo mencorong soko bang-bang wetan.
Semua itu berada dalam skenario besar kekutan supra
terangkum dalam pola “triangle super power”.
Kekuatan supra telah membimbing dan menyadarkan generasi penerus bangsa.
Kepada yang terpilih dan pinilih untuk menemukan apa sejatinya hidup.
Seiring dengan ledakan medan magnet galaktika,
yang memaksa manusia macam mana,
untuk bermeditasi, mesu budi, dan mesu raga.
Supaya memahami kehidupan yang sejati.
Yang melawan kodrat, akan menderita sakit jiwa,
yang selaras akan merdeka lahir batinnya.
Lahirlah generasi baru Nusantara
Yang mengerti diri sejatinya.
Mampu mengembalikan Nusantara pada sejati-ning
nuswantara. Membangun kembali karakter bangsa. Nusantara ya nusantara,
bukanlah negara manca. Negeri ini akan kembali menjadi dirinya sendiri,
bukan bangsa yang suka mengebiri kesadaran sejati. Bukan lagi menjadi
bangsa pengekor, berwatak dan berfikiran kotor, bukan bangsa budak,
bukan bangsa imitasi, yang selalu menganggap kerusakan moral sebagai bentuk cobaan, yang dikiranya bukti dirinya disayang ilahi.
Segitiga kekuatan supra itu, jika dibuka akan berubah bagaikan senjata trisula. Kini senjata trisula tengah dipersiapkan tangkainya,
yakni generasi penerus putra raja Kutai Lama YM Sri Raja Kudungga yang
bernama Sri Baduga Purnawarman, yang telah membabar bibit
kerajaan-kerajaan di tlatah Pasundan. Pelan namun pasti, kini dulur-dulur sadayana ti tatar Parahyangan mulai menggeliat bangun dari tidur panjangnya, mundi dawuh melaksanakan tugasnya sebagai barudak angon, mengumpulkan ranting-ranting kering
yang berserakan seolah tiada harganya. Kelak sang SP-RA akan berhasil
membangun “senjata trisula” yang utuh berikut tangkainya. Sebagai
lambang persatuan kembali keluarga besar Kutai Lama, dengan ke tiga
puteranya yakni Mulawarman (trah raja-raja di Sumatera), Purnawarman
(trah raja-raja di tatar Sunda), Aswawarman (trah Majapahit hingga
Mataram sebagai generasi penerus Kutai Lama). Setelah Nusantara kembali
pada diri sejatinya, bukan mustahil akan menjadi mercusuar dunia dalam
bidang spiritual, kebudayaan, kesejahteraan dan kemakmurannya. Negeri
yang adil makmur, gemah ripah loh jinawi, tata titi tentrem kerta raharja, kalis ing rubeda nir ing sambekala.
Sebagai anugrah besar atas bangsa ini, atas jerih payah Anda semua
generasi penerus bangsa yang tiada hentinya membangun karakter dan
menggali jati diri Nusantara, setelah ratusan tahun lenyap dan
membawanya terperosok ke dalam lumpur kesengsaraan dan penderitaan.
Sudah Keterlaluan-kah ?
Keterlaluan
bila kita tak bangga, Nusantara bukan lah bangsa primitif yang miskin
situs budaya, atau sekedar mewarisi alat-alat peperangan dan kekerasan
saja. Nusantara merupakan bangsa yang kaya ragam seni-budaya sebagai
tolok ukur tingginya peradaban dan kesadaran spiritualnya. Walau kini
Nusantara masih terus menukik, terjun bebas ke dasar jurang. Kita tunggu
detik-detik suara dentuman setelah ia menyentuh dasar jurang. Barulah
daya pantulnya akan membawa Nusantara untuk bangkit secara perlahan
namun pasti. Kita semua generasi muda penerus bangsa, adalah sumber daya
pantul itu. Tentu saja bagi generasi yang telah merdeka kesadaran
spiritulanya. Generasi yang sudah keluar dari tempurung kebodohan.
Makasih mas Panji Trisula (Bustanus Salatin), panjenengan memiliki andil sangat besar dalam terlaksananya acara sakral dan penuh makna di Trowulan Mojokerto Jatim. Panjenengan menjadi salah satu jalma pinilih yang dilibatkan oleh para leluhur besar Nusantara dalam rangka save our country project.
Juga seluruh hadirin yang terhormat, Anda semua telah lolos seleksi,
berhasil melewati rintangan dan gangguan sehingga tidak gagal mengikuti
acara di Trowulan. Termasuk seluruh sedulur dari elemen dan komunitas
manapun juga yang mendukung berlangsungnya acara tersebut. Dari IPPNU,
SI, GPS, Beceka, Lakutama, Majapahit Wilwtk, Mahavihara Majapahit,
Swara Majapahit, Mojokertokab.co, Pemerintah Kab Mojokerto, dan terutama
utk Indonesia Adil dan Makmur berbasis sosial demokrat, dan semua
elemen yang lupa kami disebutkan di sini. Semua tak ada yang sia-sia.
Kebaikan yang Anda lakukan akan kembali kepada diri sendiri, bahkan
menjadi kebaikan lebih besar lagi, bagaikan hukum gema suara. Yang dapat
menyelamatkan Nusantara bukanlah generasi jahil, bukan bangsa-bangsa
lain dan bukan pula jiwa-jiwa berisi nafsu imperialism, tetapi generasi
muda bangsa yang berjiwa Nusantara dan mengerti diri sejati.
Comments
Post a Comment
tuliskan komentar anda untuk tanya jawab seputar ilmu di atas dan juga silakan menjawab komentar sedulur yang kira2 bisa menjawab isi komentar yang sudah ada.
terima kasih..