Jejak Mistis Parangkusumo
JEJAK HISTORIS PARANGKUSUMO
Sangat
mengasyikkan menelusuri jejak-jejak magis pantai Parangkusumo dalam
hubungannya dengan kekuasaan para Raja Mataram. Jadi nanti sambil
bersilaturahim, Keluarga Kampus Wong Alus (K.W.A). bisa menerawang ke
masa lalu untuk melangkah ke masa depan.
AKHIR KEJAYAAN PAJANG…
Tahun 1584. Sesaat setelah Ki Ageng Pemanahan meninggal, Ki Juru Martani menghadap Sultan Hadiwijaya, untuk memilih siapa di antara enam putra pemanahan yang akan diangkat sebagai penerus kerajaan Mataram yang baru saja dikembangkan saat babad alas mentaok. Ki Ageng Pemanahan adalah keturunan Majapahit dari garis ayah dan keturunan Nabi Muhammad dari garis ibu. Sementara Ki Juru Martani adalah ipar dan penasehatnya.
Tahun 1584. Sesaat setelah Ki Ageng Pemanahan meninggal, Ki Juru Martani menghadap Sultan Hadiwijaya, untuk memilih siapa di antara enam putra pemanahan yang akan diangkat sebagai penerus kerajaan Mataram yang baru saja dikembangkan saat babad alas mentaok. Ki Ageng Pemanahan adalah keturunan Majapahit dari garis ayah dan keturunan Nabi Muhammad dari garis ibu. Sementara Ki Juru Martani adalah ipar dan penasehatnya.
Sultan
Hadiwijaya kemudian memilih Danang Sutawijaya, putra sulung Pemanahan
dan diberi gelar Senopati Ing Ngalaga Sayidin Panotogomo. Sementara Ki
Juru Mertani diserahi tugas untuk menjadi penasehat Mataram dengan gelar
Adipati Mandaraka. Keduanya diizinkan untuk tidak usah sowan ke Pajang
selama satu tahun agar dapat konsentrasi membangun Mataram. “Kalau sudah
setahun, datanglah kemari jangan terlambat,” titah Sultan Hadiwijaya.
Setelah
diangkat tersebut, itu berarti Sutawijaya yang sudah bergelar Senopati
Ing Ngalaga Sayidin Panotogomo alias Panembahan Senopati adalah Raja
Pertama Mataram. Setahun lamanya, Panembahan Senopati menata sedikit
demi sedikit kerajaan baru tersebut sehingga tiba saatnya dia sowan ke
Pajang (eks Demak) sebagai tanda “ngabekti”nya Mataram ke Pajang. Namun,
karena alasan khusus Sang Panembahan Senopati enggan sowan ke Pajang.
Sultan Hadiwijaya pun mulai curiga dan mengirim utusan terpercaya
Ngabehi Wuragil dan Ngabehi Wilamarta untuk mencermati perkembangan
Mataram.
Meskipun
sebagai utusan Raja, dua Ngabehi ini tetap andap asor dan turun dari
kuda lebih dulu ketika menemui Panembahan Senopati yang tetap duduk di
punggung kuda. Kalau dilihat dari segi etika, hal ini tentu tidak pantas
dan menunjukkan sikap merendahkan bahkan menantang tidak hanya utusan
itu tetapi juga yang mengutus. Dengan sopan, utusan Pajang menyampaikan
amanat Sultan Hadiwijaya bahwa Panembahan Senopati segera sowan
menghadap ke Pajang, tidak mengadakan jamuan pesta dan tidak berambut
gondrong.
Tetap duduk
di punggung kuda, Panembahan Senopati menjawab, “Sampaikan kepada
Kanjeng Sultan, saya tidak akan menghentikan pesta karena saya masih
suka, saya disuruh cukur lha wong ini rambut-rambut saya sendiri. Saya
diisurun menghadap ke Pajang ya mau saja asalkan Sultan menghentikan
kesukaannya mengambil isteri para abdinya,.”
Dua utusan
Pajang itu pun pulang dan melaporkan sebagai berikut bahwa Panembahan
Senopati segera menghadap dan baik-baik saja. Soal Mataram sedang
membangun tembok mengelilingi kerajaan dan sikap serta ucapan menantang
Raja Pajang tidak mereka laporkan.
Semuanya mengalir apa adanya sesuai dengan jalan dan kehendak sejarah…
PANEMBAHAN SENOPATI: SOSOK WASIS-WASKITA
Panembahan Senopati adalah sosok yang pandai menyerap energi kekuasaan dan kekuatan alam semesta demi membangun kerajaan Mataram. Mulai dari membina hubungan dengan penguasa Kedu dan Bagelen di sisi barat Mataram. Termasuk membangun kesatrian yang berhasil memiliki 1000 tentara pilih tanding dalam olah perang. Melihat gelagat egoisme Panembahan Senopati yang berlebihan ini, Ki Juru Martani menegur dan memberikan nasehat:
Panembahan Senopati adalah sosok yang pandai menyerap energi kekuasaan dan kekuatan alam semesta demi membangun kerajaan Mataram. Mulai dari membina hubungan dengan penguasa Kedu dan Bagelen di sisi barat Mataram. Termasuk membangun kesatrian yang berhasil memiliki 1000 tentara pilih tanding dalam olah perang. Melihat gelagat egoisme Panembahan Senopati yang berlebihan ini, Ki Juru Martani menegur dan memberikan nasehat:
“Ada tiga
kesalahan yang kamu buat ngger… Kamu memusuhi Raja Pajang Kanjeng Sultan
yang tak lain orang tua dan gurumu. Saya malu karena kita yang ada di
kerajaan Mataram sepertinya tidak tahu membalas budi baiknya. Bukankah
kita telah diberi tanah dan wilayah untuk kita tempati dan kita bangun
ini? Saya minta ngger, sekarang mintalah kepada Allah dengan teguh agar
nanti bila Kanjeng Sultan sudah wafat, kamu bisa menggantikan
keratonnya. Tapi sekarang jangan sekali-kali memusuhi beliau. Justeru
sebaliknya, balaslah kebaikannya agar batinnya rela nanti kamu yang
menggantikan kedudukannya sebagai raja”
Panembahan
Senopati kemudian memenuhi petunjuk Ki Juru Mertani. Ia kemudian
berangkat ke Lipura untuk bertapa. Di sebuah tempat sepi, dia melihat
sebuah batu hitam mengkilat yang cucuk untuk dipakai meditasi. Batu
indah ini dikenal sebagai “Sela Gilang” dan di batu ini pula Panembahan
mendapatkan WAHYU KERATON, yaitu sebuah wisik gaib yang jelas dan terang
berbunyi: “KAMU AKAN MENJADI RAJA MATARAM SEJATI MENGALAHKAN PAJANG DAN
KERAJAAN-KERAJAAN LAIN, BEGITU JUGA DENGAN ANAK CUCUMU. TETAPI CICITMU
KELAK JUGA AKAN MENJADI AKHIR KERAJAAN MATARAM….”
Selesai
bertapa, Panembahan Senopati menghadap Ki Juru Mertani dan Ki Juru
mengatakan bahwa pekerjaan besar baru dimulai sekarang. Pekerjaan besar
yang dimaksud Ki Juru adalah mencari dukungan kekuatan adikodrati dari
alam gaib. Panembahan Senopati diminta pergi ke pantai segara kidul
(laut selatan) dan Ki Juru sendiri pergi ke gunung Merapi.
Di mata
seorang Ki Juru yang waskita ini, dua tempat ini dikuasai oleh sosok
penguasa di alamnya masing-masing. Penguasa samudra yaitu Kanjeng Ratu
Kidul dan penguasa gunung berapi yaitu Kyai Sapu Jagad dan kadang juga
muncul sosok bernama Kanjeng Ratu sekar Kedhaton. Selain itu masih ada
dua penguasa gaib lagi yang perlu untuk diminta bantuan agar kerajaan
Mataram ini bisa kuat yaitu Kanjeng Sunan Lawu di timur kerajaan, dan
Sang Hyang Pramoni dan di barat yang menguasai hutan Krendhawahana.
MEDITASI DI PANTAI PARANGKUSUMO
Sejak dulu, pantai Parangkusumo cukup dikenal kalangan mistikus. Pantai yang terletak di sebelah barat Pantai Parangtritis yang kini ditandai dengan Bangunan Cepuri ini konon merupakan titik dimana pintu gerbang Kerajaan Gaib Segara Kidul berada. Bila anda melakukan meditasi di pinggir pantai menghadap ke laut maka di kejauhan akan tampak Pintu Gerbang Kerajaan Segara Kidul terbuat bahan berwarna emas dengan tinggi menjulang puluhan meter dari lautan. Jadi bentangan pantai dari barat ke timur adalah alun-alun Kerajaan Segara Kidul tersebut. Sebuah penampakan yang indah yang bisa dinikmati oleh para pejalan spiritual.
Sejak dulu, pantai Parangkusumo cukup dikenal kalangan mistikus. Pantai yang terletak di sebelah barat Pantai Parangtritis yang kini ditandai dengan Bangunan Cepuri ini konon merupakan titik dimana pintu gerbang Kerajaan Gaib Segara Kidul berada. Bila anda melakukan meditasi di pinggir pantai menghadap ke laut maka di kejauhan akan tampak Pintu Gerbang Kerajaan Segara Kidul terbuat bahan berwarna emas dengan tinggi menjulang puluhan meter dari lautan. Jadi bentangan pantai dari barat ke timur adalah alun-alun Kerajaan Segara Kidul tersebut. Sebuah penampakan yang indah yang bisa dinikmati oleh para pejalan spiritual.
Tiba di
pantai Parangkusumo, panembahan Senopati segera berjalan di bebatuan
karang di pantai. Di sebuah batu kecil dan menonjol, dia duduk dan
melakukan meditasi. Menyatukan semua pancaindera ke satu titik dan
menata batin untuk berdoa agar Tuhan Semesta Alam berkenan memberikan
bantuan.
Tuhan tentu
saja punya puluhan, ratusan, jutaan, milyaran cara untuk membantu orang
yang ingin ditolong-NYA. Salah satu cara itu adalah mengutus Kanjeng
Ratu Kidul untuk menemui Panembahan Senopati. Sebagaimana hukum alam
yang berlaku, bantuan dan pertolongan Tuhan ini pastilah ada kisah dan
cerita uniknya.
Panembahan
Senopati yang memang dikenal sakti ini memulai untuk bertapa. Laut
selatan yang semula bergelombang alamiah tiba-tiba menampakkan
keanehannya. Ombak laut bergulung-gulung semakin membesar. Dinginnya air
laut selatan sedikit demi sedikit berubah menjadi panas hingga
mendidih. Penghuni lautan pastilah terganggu. Ikan-ikan serta binatang
laut lainnya banyak yang mati akibat panasnya energi spiritual yang
terpancar dari batin Panembahan. Setiap Panembahan masuk ke lebih dalam
wilayah “NING” atau keheningan dan satu kulit batin terkelupas maka satu
kulit itu menjadi energi panas yang membakar alam sekitar. Proses yang
alamiah terjadi itu hampir sama persis saat seseorang melakukan matek
aji atau matek hizib dan mantra yang mengeluarkan hawa panas ke
lingkungan sekitarnya.
Para
prajurit dan punggawa kerajaan Segara Kidul kuwalahan membendung energi
panas yang terpancar dari tubuh Panembahan Senopati. Segala kesaktian
dan kekebalan ratusan ribuan makhluk halus ini tawar dan membuat tubuh
mereka melemas. Cukup berbahaya bila tidak dilakukan pencegahan karena
jagad lelembut dan jagad fisik laut selatan semakin banyak yang tewas.
Di saat yang genting itu, muncullah Kanjeng Ratu Kidul.
Ternyata
begitu melihat penyebabnya semua ini adalah Panembahan Senopati yang
sedang “manekung” atau “maneges”, Kanjeng Ratu kemudian membangunkan
kesadaran Panembahan Senopati. Setelah berdialog, lahirlah sebuah
konsensus atau perjanjian gaib antar dua makhluk di dua dimensi yang
berbeda ini. Perjanjian gaib itu berbunyi: KANJENG RATU KIDUL AKAN
MENDUKUNG PENUH KEJAYAAN DAN KEMAKMURAN ANAK KETURUNAN PENGUASA MATARAM
BILA MEREKA SELALU SETIA DENGAN PERNIKAHAN MEREKA.
Jadi dengan
perjanjian tersebut, maka Para Raja Mataram sejak Panembahan Senopati
hingga saat ini harus menikah dengan Kanjeng Ratu Kidul dan setia dengan
perjanjian ini. Pernikahan ini juga secara filosofis bisa diartikan
sebagai kewajiban Raja-Raja Mataram untuk wajib nguri-uri atau
memelihara adat istiadat dan budaya Jawa karena ini sudah merupakan
perjanjian. Bila perjanjian ini dilanggar, maka Kanjeng Ratu Kidul
berpesan dirinya tidak akan menjamin lagi keamanan dan kesejahteraan
kerajaan Mataram. Sebab secara alamiah tanah Mataram memang terkenal
tanah yang sesungguhnya menyimpan potensi bencana. Bencana gempa bumi
akibat pergeseran-pergeseran lempeng bumi dan bencana gunung berapi.
Setelah
selesai bertemu dan mengadakan perjanjian dengan Kanjeng Ratu Kidul maka
Panembahan Senopati menyelesaikan meditasinya. Momentum selesainya
meditasi sang Panembahan ini adalah datangnya Sunan Kalijaga yang
mengijazahkan pusaka Kyai Tunggul Wulung untuk dimiliki Raja-Raja
Mataram secara turun temurun. Sunan Kalijaga akhirnya berpesan kepada
Panembahan Senopati jangan terlalu mengandalkan kesaktiannya. Tidak lupa
berdoa dan ikhlas menyerahkan hasil usahanya pada Tuhan Yang Maha
Kuasa.
BENDE KI BICAK DATANGKAN KANJENG RATU KIDUL
Bala bantuan pasukan gaib Kanjeng Ratu Kidul itu dalam sejarah benar-benar terbukti. Suatu ketika Kerajaan Pajang berkekuatan 10.000 orang yang dipimpin langsung Kanjeng Sultan Hadiwijaya menggempur kerajaan Mataram berkekuatan 1000 orang dipimpin Panembahan Senopati. Di wilayah Prambanan, kedua pasukan ini bertemu dan terjadilah peperangan yang berat sebelah.
Bala bantuan pasukan gaib Kanjeng Ratu Kidul itu dalam sejarah benar-benar terbukti. Suatu ketika Kerajaan Pajang berkekuatan 10.000 orang yang dipimpin langsung Kanjeng Sultan Hadiwijaya menggempur kerajaan Mataram berkekuatan 1000 orang dipimpin Panembahan Senopati. Di wilayah Prambanan, kedua pasukan ini bertemu dan terjadilah peperangan yang berat sebelah.
Menyadari
kekuatan pasukan Mataram yang kecil, Juru Martani mendapat wisik agar
menabuh bende Ki Bicak. Bende ini peninggalan Ki Ageng Sela. (Bende ini
pun ada sejarahnya. Konon sewaktu menanggap wayang dengan dalang Ki
Bicak, Ki Ageng Sela jatuh hati pada isteri sang dalang. Ki Ageng
kemudian membunuh Ki Bicak dan mengambil usteri serta gamelan termasuk
bende. Menurut Sunan Kalijaga, bende itu nanti akan menjadi pusaka
Keraton Mataram dan bila bende itu dibunyikan maka bunyinya menggelegar
memenuhi angkasa dan penabuh akan menang perang.)
Suara Bende
yang ditabuh menggelegar ini pula yang kemudian terdengar oleh Kanjeng
Ratu Kidul. Itu tanda bahwa Mataram butuh bantuan sehingga Kanjeng Ratu
beserta puluhan ribu bala bantuannya datang menyerang pasukan Pajang.
Sementara penguasa gunung Merapi yaitu Kyai Sapu Jagad membuka kunci
kawah gunung tersebut. Gunung Merapi meletus di tengah kegelapan, hujan
lebat, banjir dan gempa bumi. Bala bantuan gaib yang berpadu dengan
kekuatan alam yang hebat itulah yang membuat pasukan pajang berkekuatan
lebih besar itu morat marit. Sultan Hadiwijaya sosok yang sakti
mandraguna —yang mudanya disebut Jaka Tingkir dan punya guru sakti yaitu
Ki Ageng Sela—ini pun harus terjatuh dari gajah tunggangannya dan harus
melarikan diri dalam keadaan terluka yang parah.
Panembahan
Senopati terus mengejar dengan 40 orang pasukan khususnya hingga masuk
ke wilayah Pajang. Tahu kekuatan Panembahan yang tidak seberapa itu,
pasukan Pajang yang dipimpin Benawa, anak Sultan Hadiwijaya segera siap
melakukan penghadangan dan penumpasan. Namun Benawa diwejang sang ayah
agar tidak membunuh Panembahan Senopati
“Jangan
berani terhadap kakangmu (panembahan senopati), karena kalau aku sudah
wafat maka kakangmu itu yang menjadi penggantiku. Rukun dan berbaktilah
padanya” ujar Sultan Hadiwijaya yang kemudian menghembuskan nafas
terakhirnya. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1587 atau tiga tahun
setelah ayah Panembahan Senopati, Ki Ageng Pemanahan wafat.
Memang sudah
menjadi takdir bahwa Sultan Hadiwijaya wafat pada tahun itu. Namun
konon salah satu lantaran sebabnya adalah berikut ini. Ki Juru Taman,
seorang raja Jin abdi Panembahan Senopati menawarkan jasa untuk membunuh
Sultan Hadiwijaya. Mendengar tawaran itu, Panembahan Senopati berkata:
“Saya tidak punya niat seperti itu, tapi jika engkau ingin membunuhnya
maka terserah dan saya tidak memberi perintah padamu tapi juga tidak
melarangmu!”
Tahu dan
tanggap sasmita narendra apa yang diinginkan sang Panembahan, Raja Jin
Ki Juru Taman segera melakukan aksi membunuh Sultan Hadiwijaya dengan
kesaktiannya. Jenazahnya dimakamkan oleh masyarakat di Makam Kota Gede,
yang berjajar dengan Makam Nyai Ageng Enis, ibu Ki Ageng Pemanahan dan
Pangeran Jayaprana— leluhur Raja-Raja Surakarta dan Yogyakarta.
Comments
Post a Comment
tuliskan komentar anda untuk tanya jawab seputar ilmu di atas dan juga silakan menjawab komentar sedulur yang kira2 bisa menjawab isi komentar yang sudah ada.
terima kasih..